Selasa, 09 Juli 2013

remaja dan sexualitas



REMAJA DAN SEXUALITAS
oleh: Yusup Rogo Yuono

Pendahuluan
Permasalahan sex pra nikah dikalangan remaja adalah suatu masalah yang serius dalam etika Kristen. Bukan hanya karena jumlahnya yang semakin banyak, tetapi juga karena underpinning yang memandang kegiatan sexsual ini sebagai sesuatu yang normal.
Tingginya tingkat kehamilan di luar nikah yang berhubungan dengan tindakan aborsi menjadi bukti yang sulit dibantah. Seperti yang dinyatakan para futurolog barat yang mengatakan bahwa telah terjadi perubahan fungsi seksual dari prokreasi ke rekreasi, masyarakat seharusnya mulai menyadari adanya pergeseran norma seksual pada kaum remaja. 
Minimnya usaha masyarakat untuk mendiskusikan masalah sex kepada generasi muda telah membawa ekses yang buruk. Ada banyak faktor yang membuat masyarakat tabu membicarakan hal-hal yang menyangkut seksualitas, antara lain : faktor budaya yang melarang pembicaraan mengenai seksualitas di depan umum, karena dianggap sebagai sesuatu yang porno dan sifatnya sangat pribadi sehingga tidak boleh diungkapkan kepada orang lain. Pengertian seksualitas yang ada di masyarakat masih sangat sempit, pembicaraan tentang seksualitas seolah-olah hanya diartikan kepada hubungan seks. Padahal secara harafiah seks artinya jenis kelamin, sama sekali tidak porno karena setiap orang tentu memiliki alat kelamin. Seksualitas sendiri artinya segala hal yang berhubungan dengan jenis kelamin, termasuk bagaimana cara kerjanya dan cara merawat kesehatannya agar tetap dapat berfungsi dengan baik.
Dalam makalah ini penulis mencoba melihat kenyataan perilaku seks remaja  yang ada sekarang ini. Kemudian penulis juga akan memaparkan sebab-sebab terjadinya sex pranikah dikalangan remaja, kerugian-kerugian yang dialami remaja pasca melakukan sex pranikah, langkah-langkah penanganan dan tindakan prefentif yang dipakai untuk menyelesaikan masalah. Dan akhirnya penulis  akan mencoba membuat tinjauan etis teologis dari pandangan narasi alkitab mengenai perilaku seks pranikah ini.

Perilaku Seks Remaja - Fakta Yang Ada
Di Indonesia angka sexualitas remaja yang belum menikah sulit untuk diketahui dengan pasti . namun berita-berita di media massa tentang hasil-hasil penelitian sex sebelum menikah, lepas dari keabsahan penelitian tersebut, menunjukkan kecenderungan bahwa sex pranikah sudah memasuki tahab yang mengawatirkan.
Sebagai contoh data mengenai survey-survey dibeberapa tempat yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tertentu yang menginformasikan mengenai perilaku sex anak-anak muda. Kota Yogyakarta pada pertengahan tahun 2002 pernah dihebohkan oleh sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan (LSCK) tentang virginitas mahasiswi di Yogyakarta. Lembaga ini melaporkan telah melakukan survei terhadap 1.660 responden mahasiswi dari 16 perguruan tinggi di Yogyakarta, antara Juli 1999 sampai Juli 2002. Yang menghebohkan adalah hasilnya yang menyatakan bahwa 97,5 persen dari responden mengaku telah kehilanganvirginitasnya .
Sementara itu dalam Kongres Nasional I Asosiasi Seksologi Indonesia (Konas I ASI) di
Denpasar Juli 2002, Hudi Winarso dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya juga mengemukakan penelitian serupa. Dari angket yang disebarkan pada bulan April 2002 terhadap 180 mahasiswa perguruan tinggi negeri di Surabaya, berusia 19 hingga 23 tahun, ternyata 40 persen mahasiswa pria telah melakukan hubungan seks pra nikah .
Kemudian sebuah lembaga bernama Synovate Research di tahun 2004 melakukan survei mengenai perilaku seks remaja di empat kota, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan. Survei ini mengambil 450 responden dari empat kota tersebut, dengan kisaran usia 15 - 24 tahun, kategori masyarakat umum dengan kelas sosial menengah ke atas dan ke bawah. Hasilnya dilaporkan bahwa 44 persen responden mengaku mereka sudah pernah punya pengalaman seks di usia 16 sampai 18tahun. Sementara 16 persen lainnya mengaku pengalaman seks itu sudah mereka dapat antara usia 13 sampai 15 tahun . Di Bandung juga diberitakan oleh harian Pikiran Rakyat, sedikitnya 38.288 remaja di Kab. Bandung diduga pernah berhubungan intim di luar nikah atau melakukan seks bebas.
Berdasarkan hasil polling LSM Sahabat Anak Remaja (Sahara) terungkap, sekira 20% dari 1.000 remaja di daerah perkotaan Kab. Bandung melakukan seks di luar nikah, sedangkan di pedesaan antara 5%-7% .
Apabila  sinyalemen ini benar, sudah sewajarnya informasi dari data-data di atas  melahirkan keprihatinan bahwa telah terjadi degradasi kualitas moral dalam masyarakat dan remaja Indonesia. Hal yang lebih mengerikan adalah  data terbaru yang penulis dapatkan yang di umumkan oleh BKKBN, yang memberitahukan bahwa :Berdasarkan survei, 63% remaja SMP dan SMA di Indonesia pernah berhubungan seks. Sebanyak 21% Di antaranya melakukan aborsi. Menurut Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi BKKBN, M Masri Muadz, data itu merupakan hasil survei oleh sebuah lembaga survai yang mengambil sampel di 33 provinsi di Indonesia pada 2008.
          Angka ini naik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan penelitian 2005-2006 di kota-kota besar mulai Jabotabek, Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar, ditemukan sekitar 47% hingga 54 % remaja mengaku melakukan hubungan seks sebelum nikah. 
Realita di atas menunjukkan bahwa perilaku sex remaja yang ada sekarang ini sudah sangat memprihatikan. Masalah tersebut membutuhkan penanganan yang serius dari berbagai pihak.

Sebab-sebab perilaku sex pranikah remaja
Menurut Eka Darma Putra yang mengutip opini Barclay, ada tiga alasan yang paling kerap dikemukakan orang, guna membenarkan kegiatan seksual yang dilakukan sebelum -- atau di luar -- perkawinan.
Pertama, adalah ANTISIPASI. Ini adalah kegiatan seksual yang dilakukan oleh sepasang anak manusia yang saling mencinta. Begitu rupa, sehingga mereka merasa yakin dan pasti, bahwa pada suatu saat mereka akan menikah.
Kedua adalah SIMULASI. "mencoba" itu perlu, agar orang mengetahui dengan pasti, bahwa memang "dia"lah orangnya, dengan siapa ia akan menghabiskan seluruh sisa umurnya. Caranya? Dengan "hidup bersama" dulu. "Hidup bersama" dijadikan "simulasi" atau "tiruan" hidup perkawinan yang sesungguhnya.
Ketiga adalah alasan yang mengatakan bahwa ESENSI adalah segala-galanya. Perkawinan itu lebih daripada sekadar secarik kertas atau sebuah seremoni. Esensi sebuah perkawinan adalah komitmen untuk membangun relasi. Inilah yang terpenting, dengan atau tanpa perkawinan. Dengan atau tanpa formalitas.

Factor-factor penyebeb terjadinya hubungan sex pada remaja
Pada bagian ini penulis mengklasifikasikan beberapa factor yang menjadi stimulus terjadinya hubungan sex pada kalangan remaja. Factor-faktor tersebut antara lain

a.       Factor internal
-          Pengetahuan mereka tentang seksualitas sedemikan minimnya. Akibatnya tidak dapat disalahkan sepenuhnya bahwa mereka melakukan kegiatan seksual yang menyimpang karena ketidaktahuan dan coba-coba.
-          Pubertas dini disebut-sebut sebagai penyebab perilaku seksual di masa dini. Dorongan libido yang begitu besar membuat mereka berperilaku “aneh” tanpa berpikir panjang.
b.      Factor eksternal
-          Lingkungan keluarga, yaitu “rapuhnya jalinan kasih-sayang dalam institusi keluarga. Tidak sedikit orangtua di era kekinian yang lebih sibuk dengan urusan pribadinya masing-masing atau lebih berorientasi materialistik. Perhatian dan kasih-sayang terhadap anak kerap lebih diaktualisasikan dengan pemenuhan kebutuhan biologis/fisik sang anak tanpa mempedulikan kebutuhan psikologisnya”. Atau dapat dikatakan minimnya pendidikan sex dalam keluarga.
-          Lingkungan pergaulan, sikap menutup diri dari orang tua membuat  anak remaja akan berusaha mencari penjelasan di luar lingkungan keluarga, yang dalam hal ini adalah kelompok sebaya mereka. Yang manjadi permasalahannya dari hal ini yaitu informasi yang disharingkan  oleh teman sebaya ini sangat dipertanyakan keakuratannya.
“Bahkan dalam penelitian diketahui bahwa banyak remaja pria siswa sekolah menengah telah melakukan hubungan seksual pra nikah dengan tujuan tidak hanya sekedar mencari kepuasan seksual melainkan juga sebagai bukti keperkasaan agar diakui kelompoknya”.
Biasanya yang dilakukan teman sebaya ini adalah mereka melakukan indoktrinasi yang salah. “Teman-teman sebaya mereka ini mengatakan bahwa hubungan seks akan membuktikan kejantanan dan kewanitaan seseorang. Sementara beberapa remaja mendapat tekanan dari sang pacar, dilengkapi lagi oleh rasa ingin tahu. Dia merasa hidup ini belum lengkap jika belum merasakannya”.
-          Dampak globalisasi media. Globalisasi media merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan begitu mudahnya budaya-budaya asing masuk ke dalam ruang kehidupan masyarakat Indonesia yang tidak dapat di filter lagi. Sebagai contoh yaitu berupa Iklan di TV, film, foto-foto di majalah, situs-situs di internet. Bahkan dewasa ini anak remaja dapat dengan mudahnya mengakses situs-situs porno di internet. Sajian tersebut “menyiarkan pesan yang dangkal, tetapi dengan lihai mampu menarik perhatian”[1].Lewis B. Smedes yang menuliskan opininya bahwa“one of the effects of media exploitation is that sexual intercourse has lost its moral mystigue”[2].
-          Stimulus lain yang juga berpengaruh terhadap perilaku seksual remaja adalah semakin banyaknya contoh-contoh buruk dari perilaku seksual orang dewasa (bisa jadi orang tua, pendidik, pejabat, bahkan tokoh agama sekalipun).
c.       Adanya pandangan-pandangan yang melegalkan perilaku sex bebas
-          Teologi liberal. Dari sini muncul neo ortodox dan etika situasi. Garis antara dosa dan kebenaran menjadi kabur. Bagi sebagian sarjana Neo Ortodox, firman Allah bukan lagi menjadi firman yang diwahyukan, tetapi hanya kesaksian iman terhadap firman Allah. Kasih menjadi satu-satunya hukum yang absolut, maka suatu usaha telah dilakukan untuk membenarkan pelacuran, percabulan dalam beberapa situasi jika tindakan itu dimotivasi oleh “cinta.” Alasan lain penganut liberal melegalkan hubungan sex pranikah adalah “(1) Hubungan sex sebelum menikah telah berkembang pesat. Hampir setiap orang melakukannya kecuali segelintir orang-orang gereja yang picik. (2) oleh sebab setiap orang melakukannya, maka hal itu secara social dapat diterima dan benar; dan dengan demikian peraturan-peraturan moral kita harus diubah disesuaikan dengan apa yang telah dilakukan semua orang”[3].
-          Penyebab lain yang membantu berkembangnya seks diluar perkawinan adalah Filsafat Hedonisme, yang stressing utamanya hanya kepada kepuasan duniawi dengan  ajaran yang merendahkan nilai Humanisme. “Hedonisme bertolak dari anggapan bahwa manusia hendaknya hidup sedemikian rupa sehingga ia dapat semakin bahagia”[4].
-          Pandangan new Morality. Pandangan ini mengatakan “free sex senantiasa berdasarkan “matual agreement” (persetujuan bersama yaitu kedua belah pihak). Oleh karena itu tidak boleh dipermasalahkan”[5]. Dalam persepsi new morality persetubuhan walaupun diluar nikah, dapat diterima baik dalam keadaan tertentu untuk melepaskan tekanan lahir batin seseorang.
d.      Adanya  situasi yang mendukung keberlangsungan sex bebas
-          Adanya rasa sayang dan cinta secara berlebihan yang bisa atau rela memberikan apa saja kepada orang yang dicintai atau disayanginya termaksud keperawanannya.
-          Kesempatan Tempat yang bisa terjadi disaat-saat tertentu yang bisa mengawali hal tersebut terjadi contohnya, di tempat kos’an atau kontrakan, hotel, motel, wisma dll.
-          Terlalu berani melakukan hal-hal yang bisa mengundang syahwat yang berlebihan disaat pacaran

Akiabat atau dampak sex pra-nikah
1.      Keterikatan (ketagihan)
Remaja yang telah melakukan sex pra nikah mereka akan mengalami “ketagihan” untuk melakukannya terus. “Hampir 50 % terutama anak muda yang pastinya sudah melakukan hal tersebut bisa dilakukan atau mengulanginya sampai dua kali atau bahkan lebih”.
2.      Penyakit Kelamin
Umumnya yang dipikirkan hanya having fun-nya saja, resiko belakangan. Kebanyakan begitu percaya bahwa "kondom" adalah dewa penyelamat, super bisa menghandle segala resiko yang timbul belakangan.
Beberapa contoh penyakit kelemin yang mungkin terjadi antara lain: “gonore (go), herpes genitalis, uretritis, infeksi trichomonas vaginalis, kandidas genital, ulkus mole, granuloma inguinale, sifilis” dan lain-lain.
3.      Kehamilan
Remaja yang mengadakan hubungan seks tentunya memiliki kemungkinan untuk hamil walau menggunakan alat kontrasepsi. Setiap metode pasti memiliki persentase kegagalan. Bahkan remaja yang secara rutin mengkonsumsinya. Meskipun dia tidak akan hamil, apakah dia bisa menjamin tidak akan terjadi apa-apa di masa yang akan datang.
4.      Aib seumur hidup dan konflik emosional
Adanya perasaan  bersalah yang berlarut-larut. J Irvin Sands menyatakan “perbuatan seksual sebelum pernikahan oleh kaum wanita meninggalkan bekas buruk pada bagian emosional dan kepribadian wanita yang bersangkutan. Perbuatan-perbuatan ini merupakan sumber konflik emosional”[6]. Paralel dengan pendapat di atas Sutjipto Subeno mengungkapkan “setelah semua itu terjadi, wanita itu marah, kecewa, sedih, tetapi itu semua sudah terjadi dan tidak bisa ditarik kembali. Selanjutnya perasaan yang muncul adalah ketakutan ditinggal oleh sang kekasih yang telah merenggut keperawanannya”[7].
5.      Mereka akan memandang satu sama lain dengan perasaan berbeda dari sebelumnya.
Si gadis mungkin akan tampak kurang menarik dan perasaan si pria terhadap gadis itu tidak akan membara. Sementara si gadis mungkin akan merasa dimanfaatkan atau bahkan direndahkan. Biasanya sepasang kekasih yang telah menyelami hubungan seksual pranikah memiliki persentase yang cukup besar untuk berpisah. Ini disebabkan oleh rasa curiga, tidak percaya dan perasaan cemburu berkembang dalam hati.
6.      Hilangnya kehangatan
Dampak yang lainnya dari sex pranikah adalah mengurangi kemesraan dalam perkawinan. Dalam hubungan seks pranikah yang ditekankan adalah memenuhi hawa nafsu dan hanya segi-segi fisik dari seks, tidak ada respek satu sama lain karena hawa nafsu yang tidak terkendali dan pola mementingkan diri. Perasaan lainnya adalah ‘mereka kehilangan rasa hormat dan respek satu terhadap yang lain, karena mereka saling memandang akan lawan jenisnya sebagai alat pemuas”[8].
Sedangkan dalam pernikahan, hubungan intim yang sehat menuntut pengendalian diri. Fokusnya adalah pada memberi, ‘memenuhi kewajiban seks terhadap pihak yang satunya’, dan bukannya mendapatkan atau menerima. “Survei menyatakan bahwa mereka yang sudah mengadakan hubungan seks pranikah berpotensi dua kali lebih besar melakukan perzinahan setelah menikah.
7.      Hubungan sex sebelum pernikahan mempunyai pengaruh yang merusak terhadap sikap-sikap dan konsep-konsep pemuda tentang seks[9].
Kaum muda biasanya menganggap seks sebagai sesuatu yang indah dan dinanti-nantikan bila sebelum nikah mereka tidak melakukan percobaan seks. Pengalaman-pengalaman seks yang pertama biasanya tidak menyenangkan dan memberi kesan-kesan yang dalam dan tidak mudah dilupakan. Biasanya kelakuan itu berat sebelah, di mana si gadis dengan ragu-ragu menyerahkan diri, sedangkan si pria bersifat sangat egosentris dan dengan tergesa-gesa dan secara kaku memuaskan hawa nafsunya sendiri. Persetujuan bersama dalam melakukan hal ini hampir tidak ada. Pengalaman ini sama sekali tidak menyenangkan ataupun memuaskan si gadis (sebab biasanya ia mengalami sakit), justru menjadikannya kecewa. Dia merasa ada sesuatu yang salah dalam dirinya. Sering kali si pria merasakan si gadis diam-diam saja merasa bahwa dia bukan jantan tulen. Rasa bersalah membuat mereka merasa sulit berhari-hari. Sebenarnya secara seksuil tidak ada yang salah  di dalam diri keduanya. Masalahnya ialah bahwa tidak mungkin mereka mendapatkan kepuasan dalam situasi seperti itu”[10].

Tindakan Prenfentif (penanganan)
a.       Pada lingkungan keluarga
Menciptakan  sebuah rumah tangga rohani yang kuat. “Orang-orang muda memerlukan sebuah rumah tangga dimana orang tua berperan sebagai model hidup yang berkomitmen kepada Kristus.
Orangtua sebagai penanggung jawab utama terhadap kemuliaan perilaku anak, harus menciptakan lingkungan keluarga yang harmonis dalam keluarganya. Kondisi rumah tangga harus dibenahi sedemikian rupa supaya anak betah dan kerasan di rumah. Hal ini penting karena “anak memerlukan kemesraan, kasih, keamanan. Oleh sebab itu rumah mereka harus menjadi home bagi mereka”[11].
Keteladanan orangtua juga merupakan faktor penting dalam menyelamatkan moral anak. Orangtua yang gagal memberikan teladan yang baik kepada anaknya, umumnya akan menjumpai anaknya dalam kemerosotan moral dalam berperilaku.
b.      Pendidikan sex
Pendidikan seks berusaha untuk menempatkan seks pada perspektif yang tepat dan mengubah anggapan negatif tentang seks.hal ini penting karena remaja yang sedang mengalami masa pubertas mempunyai dorongan atau keinginan yang kuat tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya dan mulai timbul rasa ketertarikan pada lawan jenisnya.
Pendidikan seks diperlukan untuk menjembatani antara rasa keingintahuan remaja tentang hal itu dan berbagai tawaran informasi yang vulgar, dengan cara pemberian informasi tentang seksualitas yang benar, jujur, lengkap, dan disesuaikan dengan kematangan usianya.
Pendidikan seks yang benar adalah pendidikan seks yang dapat menjelaskan kepada para remaja mengenai seksualitas dalam dimensinya yang ternyata sangat luas, yang dapat memadukan antara pengetahuan, perilaku seksual dan komitmen/akibat yang akan dicapai, antara emotional attachment (cinta dan nafsu) dengan tanggung jawab yang harus dipikul.
Dengan adanya pengetahuan atau informasi aktual yang benar dan utuh serta perilaku yang bertanggung jawab, misalnya risiko hamil, maka remaja akan berpikir dua kali untuk melakukannya yang cenderung yang bersikap coba-coba itu. Remaja akan terbantu dalam mengambil keputusan yang bertanggung jawab.
Penulis berpendapat bahwa lewat pendidikan sex, tindakan ini dapat meminimalisir tindakan sex pranikah. Walaupun ada opini yang mengatakan “pendidikan seks di sekolah justru memicu rasa penasaran remaja yang tadinya ‘alim’ untuk turut ‘mencoba-coba’ dengan referensi TV dan film”.
c.       Pendekatan kepada pemerintah
Langkah ini dapat ditempuh dengan membuat regulasi yang dapat melindungi anak-anak dari tontonan yang tidak mendidik. Perlu dibuat aturan perfilman yang memihak kepada pembinaan moral bangsa. Pembatasan situs-situs di internet, dan lain-lain. Berkaitan dengan hal ini Borong memberikan pendapatnya yaitu “pemerintah harus menertibkan media dan pelaku pornografi melalui konstitusi dan kesadaran produsen. Pemblokiran ciber porno melalui kebijakan konstitusi negara atau pribadi, khususnya keluarga”[12]. Mengingat ciber porno merupakan tekanan pornografi yang paling kuat dan paling mudah diakses bagi mereka yang punya saluran internet.
d.      Pendidikan moral
Pendidikan moral yang dimaksudkan di sini adalah pendidikan moral dan agama di dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Dalam lingkungan masyarakat gereja mempunyai peranan yang vital. Seperti yang diungkapkan Erwin J. Kolb “the church has a very special responsibility in this area. It begin with a positive view of sex as God-given an therefore in itself good. Building on this truth, it provides help for people of all age to respect their bodies and develop whole some attitudes toward their omn sex and the other sex”[13].
Pada sisi yang lain, realita menunjukkan kerap kali orangtua lebih mengedepankan pemenuhan kebutuhan material daripada immaterial bagi anak-anaknya. Pendidikan moral dan agama lebih dipercayakan kepada lembaga pendidikan (sekolah) yang berlangsung hanya beberapa jam saja.
Keluarga sebagai institusi yang paling fundamental perlu juga lebih meningkatkan kualitas pendidikan moral dan religi agar para generasi muda memiliki bekal yang kuat sebelum melangkah jauh menapaki alam sosial yang lebih luas


Tinjauan etis teologis
Di Barat muncul teolog-teolog kristen yang justru membela praktik ini. Salah satunya yang paling terkenal, adalah Joseph Fletcher. “Joseph Fletcher adalah tokoh paling terkenal sebuah aliran dalam etika yang dinamakan etika situasi. Etika situasi menolak adanya norma-norma moral umum karena kewajiban moral menurut mereka tergantung dari situasi konkret”[14]. Profesor etika Kristen ini antara lain menulis, "Kultus keperawanan agaknya akan menjadi benteng perlawanan terakhir terhadap kebebasan seks, dan pasti akan ambruk. Sebab kini, berkat perkembangan di bidang kedokteran, orang bisa bebas melakukan kegiatan seksualnya tanpa dibayangi ketakutan seperti sebelumnya". Statement yang lain yang disampaikan Fletcher antara lain : pasangan Kristen yang belum menikah boleh saja memutuskan untuk melakukan hubungan sex jika alasannya baik, misalnya supaya sang perumpuan hamil dan memaksa orang tua untuk menikahkan mereka.
Josh McDonell dan Dick Day menuliskan, Jika sex pranikah dilandasi cinta dan saling menyayangi, dan jika kedua belah pihak bisa meyakinkan bahwa tidak akan terjadi kehamilan ataupun penularan penyakit dan tidak ada yang disakiti, apa salahnya.
Melihat argumentasi di atas penulis berpendapat bahwa argumentasi berdasarkan etika situasi tidak dapat dijadikan landasan untuk etika Kristen. Etika Kristen haruslah bertitik tolah dari narasi alkitab sebagai narasi komunitas Kristen walaupun ada yang menyebutkan bahwa narasi alkitab tidak menyebutkan secara spesifik bahwa perilaku sex pranikah itu dilarang.
Penulis menempatkan diri pada posisi dengan opini bahwa sex pranikah merupakan tindakan yang tidak dapat diterima dalam etika Kristen. Apakah seks sebelum perkawinan atau seks diluar perkawinan. Hubungan seks apapun dengan siapapun selain dari dengan pasangan nikahnya adalah disalahkan di dalam Alkitab.
Sex merupakan hal yang indah dalam pemandangan Tuhan, dirancang dengan tujuan sebagai sarana meneruskan keturunan. Seperti yang tertulis dalam Kejadian 1:28. Sependapat dengan hal ini Herbert J. Milles mengatakan “we have sex in the creation of man and women for the perpose of procreation”[15]. Hubungan sex diluar pernikahan, biasanya berorientasi hanya untuk memuaskan hawa nafsu dan bukan untuk propagasi. Ini merupakan tindakan penyimpangan dari rancangan sex yang semula.
Tujuan yang lain dari sex adalah unifikasi. Yesus memberikan pengajaran-Nya dalam Matius 19:4-6 : Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia".
Ayat-ayat ini menyatakan bahwa Allah menciptakan kita laki-laki dan perempuan. Jadi seksualitas adalah sebuah karunia dari Allah. Allah berkata, “karena itu” yaitu oleh karena seksualitas, laki-laki akan “meninggalkan” dan “bersatu.” Perekat Ilahi yang menyebabkan bersatu atau ikatan bersama adalah seksualitas. Sebab itulah seks adalah sebuah karunia dari Allah. Seks bukanlah sesuatu yang memalukan. Seks itu dirancang untuk memberkati hubungan perkawinan dengan suka-cita dan kesenangan.
Sex pranikah adalah dosa karena bukanlah rencana Allah dank karena itu sulit dipahami itu sebagai sesuatu yang dikenan-Nya. Seperti yang tertulis dalam Efesus 5:31, teks ini diambil dari kejadian 2:24 yang berbicara mengenai pernikahan. Tindakan hubugan sex mempunyai makna yang dalam bagi Allah (penyatuan antara laki-laki dan perempuan sebagai satu daging dan satu tubuh) dan hanya dapat dilakukan dalam koridor pernikahan. Bila hal ini telah dilakukan dalam proses pacaran dan kemudian berpisah tentu akan mengakibatkan pemutusan hubungan itu lebih menyakitkan.
Dalam 1 Korintus 6:18 dipaparkan bahwa :" Jauhkanlah dirimu dari percabulan! Setiap dosa lain yang dilakukan manusia, terjadi di luar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri ." Artinya Allah telah memberikan anugerah yang indah kepada manusia berupa sex yang dilakukan dalam pernikahan, untuk membuat pernikahan itu suatu hubungan yang unik. Untuk itulah hubungan sex dalam pernikahan merupakan seuatu hubungan yang baik. Sedangkan diluar pernikahan bubungan sex membawa konflik yang merusak. Konflik ini pada mulanya mungkin tidak terlihat, namun lama-kelamaan akan membawa dampak yang buruk bagi kedua belah pihak.
Dalam Galatia 5:19, memberikan pengertian bahwa perbuatan daging/dosa yang paling pertama disebut dan dipaparkan adalah dosa percabulan atau sex. Hal ini bukan kebetulan, tetapi jelas dosa sex atau percabulan berbeda dengan dosa yang lain yang dilakukan manusia. Dosa percabulan menjadi perhatian serius oleh Paulus.
Ini akan semakin jelas bila diletakkan bersama dengan teks dalam I Tesalonika 4:3-5: sex merupakan anugrah Allah yang baik yang diberikan Allah kepada manusia yang dirancang dalam pernikahan. Perilaku sex diluar pernikahan akan membuat sex itu bukan lagi sebagai berkat malah akan menjadi kutuk, karena berbagai ekses yang dapat ditimbulkan seperti penularan penyakit, kehamilan, dan masalah-masalah batin dan social yang ditimbulkannya.

Kesimpulan
Kebungkaman banyak orang terhadap masalah seks pra-nikah, adalah ke"diam"an yang berbahaya. Melihat fenomena remaja dan sexualitas, seharusnya menyadarkan semua elemen masyarakat untuk melakukan misi menyelamatkan moral serta memperbaiki perilaku generasi muda .Misi ini menjadi tanggung jawab bersama, tanggung jawab dari seluruh elemen bangsa. Jika misi ini ditunda, maka semakin banyak generasi muda yang menjadi korban dan tidak menutup kemungkinan kita akan kehilangan generasi penerus bangsa
Dalam usaha merebaknya budaya seks bebas di kalangan kaum muda sangat diperlukan penanganan yang koordinatif , bukan hanya membebankannya instansi  pendidikan, namun juga harus menjadi tanggung jawab bagi keluarga dan instansi pemerintah. Pengertian yang keliru tentang Seksualitas akan berdampak kepada tindakan/gaya hidup seksualitas yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Generasi tua perlu memberikan pemahaman yang benar mengenai sek. Generasi muda perlu memiliki sikap selektif dalam mencari informasi mengenai keingintahuannya dalam masalah sek.
Sek merupakan hal yang indah yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Keindahannya akan terasa apabila dilakukan dalam koridor yang benar, yaitu melalui pernikahan. Sek akan menjadi malapetaka apabila ditempatkan bukan pada tempatnya dan waktunya.

Daftar Pustaka
Borong, Robert P.. Etika Seksual Kontenporer. Bandung: INK Media. 2006
Hershberger, Anne K. Seksualitas Pemberian Allah. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2008
Kolb, Erwin J.. Parent Guide To Christian Conversation About Sex. London: Concordia Publishing house. 1967
Marx, Dorothy I.. Pandangan Agama Kristen Tentang New Morality. Bandung: Kalam Hidup. 1973
Marx, Dorothy I. Itu Kan Boleh. Bandung: Kalam Hidup. t.th
Miles, Herbert J. Sebelum Menikah Pahamilah Dulu Seks. Jakarta: BPK Gunung Mulia.1986
Miles, Herbert J. Sexual Happines In Mariage. Grands Rapis: Zondervan Publishing House. 1981
Richards, Larry. Berpacaran Sampai Di Mana Batasnya. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1986
Smedes, Lewis B.. Sex For Christians. Grand Rapids:WM.B Eer Dmans Publishing co.1976
Subeno, Sutjipto. Pernikahan Kristen. Surabaya: Momentum. 2008
Suseno, Franz-Magnis. Etika Abad  Keduapuluh. Yogyakarta: Kanisius. 2006
Suseno, Franz-Magnis. Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius. 1987
Verkuil, J. Etika Kristen Seksuil. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1993


[1] Anne K. Hershberger. Seksualitas Pemberian Allah. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2008, hlm 56
[2] Lewis B. Smedes. Sex For Christians. Grand Rapids:WM.B Eer Dmans Publishing co.1976, hlm 111
[3] Herbert J. Miles. Sebelum Menikah Pahamilah Dulu Seks. Jakarta: BPK Gunung Mulia.1986, hlm 75
[4] Franz-Magnis Suseno. Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius. 1987, hlm 113
[5] Dorothy I. Marx. Pandangan Agama Kristen Tentang New Morality. Bandung: Kalam Hidup. 1973, hlm 100
[6] Larry Richards. Berpacaran Sampai Di Mana Batasnya. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1986, hlm 25
[7] Sutjipto Subeno. Pernikahan Kristen. Surabaya: Momentum. 2008, hlm 83
[8] Dorothy L. marx. Itu Kan Boleh. Bandung: Kalam Hidup. t.th, hlm 62
[9] Herbert J. Miles. Sebelum Menikah Pahamilah Dulu Seks. Jakarta: BPK Gunung Mulia.1986, hlm 39
[10] Ibid
[11] J Verkuil. Etika Kristen Seksuil. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1993, hlm 175
[12] Robert P. Borong. Etika Seksual Kontenporer. Bandung: INK Media. 2006, hlm 44
[13] Erwin J. Kolb. Parent Guide To Christian Conversation About Sex. London: Concordia Publishing house. 1967, page 34
[14] Franz-Magnis Suseno. Etika Abad  Keduapuluh. Yogyakarta: Kanisius. 2006, hlm 111
[15] Herbert J. Milles. Sexual Happines In Mariage. Grands Rapis: Zondervan Publishing House. 1981, page 27