Selasa, 10 April 2012

profesi keguruan



PROFESI KEGURUAN
Oleh: Yusup Rogo Yuono

Pendahuluan
Bangsa yang berkualitas adalah bangsa yang mempunyai pendidikan yang maju. Karena pendidikan adalah penentu sebuah bangsa menjadi berkembang dan berkualitas. Melihat ke bangsa sendiri, yaitu Indonesia, keadaan dunia pendidikannya sangat memprihatinkan. “Data UNESCO (2000) membuktikan bahwa peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index) Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998) dan ke-109 (1999). Dan menurut survey Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitan pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Sedang data Balitbang (2003) menunjukkan kenyataan bahwa dari 146.052 Sekolah Dasar di Indonesia ternyata hanya ada delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA hanya tujuh sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program”[1]

Table data diatas meruakan tabel rangking Indonesia dalam bidang pendidikan yang berhasil penulis dapatkan. Sumber tabel diatas: internet: www. Unhas.ac.id[2]

Apabila problematika di atas ditelusuri penyebabnya, maka akan didapati permasalahan yang munti-dimensional dalam dunia pendidikan Indonesia. Sebagai contoh, permasalahan tersebut antara lain: Sistem pendidikan yang berubah-ubah, infrastruktur penunjang, tenaga pengajar, dan sejumlah penyebab lain. Dari beberapa factor yang ada, guru mempunyai posisi yang vital.
Guru mempunyai peranan penting dalam dunia pendidikan, seperti ada ungkapan yang mengatakan “Guru merupakan tokoh sentral dalam dunia pendidikan yang sangat menentukan kearah mana sebuah bangsa sedang menuju”[3]. Pentingnya peren guru juga diungkapkan oleh Oktovianus Suhalata yang menyatakan “Guru, akhirnya menjadi salah satu faktor menentukan dalam konteks meningkatkan mutu pendidikan dan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas karena guru adalah garda terdepan yang berhadapan langsung dan berinteraksi dengan siswa dalam proses belajar mengajar. Mutu pendidikan yang baik dapat dicapai dengan guru yang profesional dengan segala kompetensi yang dimiliki.”[4]
Guru merupakan tokoh pembaharu dan pembawa kemajuan, mengingat perannya yang sangat penting dalam mencetak dan melahirkan generasi, yang nantinya akan mewarnai kemajuan suatu bangsa. Guru merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia dan perluasan kesempatan layanan belajar. Itulah sebabnya berbagai negara memberikan perhatian yang besar dalam pengadaan atau penyiapan tenaga guru. Belajar dari Jepang, sejarah kemajuan yang dialami Jepang merupakan pelajaran yang berharga yang patut diteladani. Sejarah mengatakan bahwa “setelah Nagasaki dan Hiroshima dibom atom oleh sekutu, langkah pertama yang dilakukan pemerintah Jepang adalah menghitung jumlah guru dan dokter yang tersisa. Mereka membangun kembali bangsanya yang porakporanda itu dimulai dari bidang pendidikan dan kesehatan. Hasilnya sangat menakjubkan, selama kurang dari 20 tahun, Jepang berhasil mensejajarkan negaranya dengan negara-negara maju lainnya di dunia”[5].
Demi terciptanya kuaitas yang baik serta mutu yang tinggi dalam dunia pendidikan di indonesia, keberadaan tenaga pengajar yang profesional sangatlah dibutuhkan. Profesionalisme dibutuhkan sebagai salah satu upuya untuk meminimalisir permasalahan-permasalahan dalam dunia pendidikan Indonesia.



Bab II

MASALAH DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA

            Buruknya dunia pendidikan Indonesia yang penulis paparkan dalam bagian pendahuluan merupakan fakta yang bukan sepenuhnya merupakan kesalahan guru. Ada berbagai sumber permasalahan yang menjadi penyebabnya. Dalam bagian ini penulis mencoba memaparkan permasalahan-permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Pertama: Masalah Guru
Guru merupakan pioner dalam pembangunan Negara. “Keberadaan peran dan fungsi guru merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan. Guru merupakan bagian terpenting dalam proses belajar mengajar, baik di jalur pendidikan formal maupun informal. Oleh sebab itu, dalam setiap upaya peningkatan kualitas pendidikan di tanah air, tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal yang berkaitan dengan eksistensi guru itu sendiri”[6], demikianlah yang dituliskan Bachtiar.
Setidak-tidaknya ada beberapa hal yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi guru di Indonesia, yaitu : pertama, masalah kualitas/mutu guru, kedua, jumlah guru yang dirasakan masih kurang, ketiga, masalah distribusi guru dan  masaah kesejahteraan guru.

Kualitas Guru. “Terdapat hampir separo dari sekitar 2,6 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar. Kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar di sekolah. Demikian pernyataan Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Fasli Djalal di sebuah surat kabar nasional. Lebih rinci disebutkan, saat ini yang tidak layak mengajar atau menjadi guru sekitar 912.505. Terdiri atas 605.217 guru SD, 167.643 guru SMP, 75.684 guru SMA, dan 63.961 guru SMK.”[7] Demikianlah informasi yang dituliskan Suryadi berkaitan dengan kualitas guru. Informasi tersebut mengindikasikan bahwa kualitas pengajar di Indonesia masih sangat minim.
Berdasarkan kriteria secara akademik, baik itu menyangkut pendidikan minimal maupun kesesuaian latar belakang bidang studi dengan pelajaran yang harus diberikan, masih terdapat ketidak sesuaian.
Dari distribusi data di bawah ini dapat diketahui bahwa angka guru yang belum memenuhi kualifikasi akademisnya cukup besar.

GURU MENURUT IJAZAH TERTINGGI TAHUN 2002/2003
No
Pendidikan
Jumlah
Guru
Ijazah Tertinggi i(dalam %)
<D1
D2
D3
S1
S2/S3
1
TK
137.069
90.57
5.55
-
3.88
-
2
SLB
8.304
47.58
-
5.62
46.35
0.45
3
SD
1.234.927
49.33
40.14
2.17
8.30
0.05
4
SMP
466.748
11.23
21.33
25.10
42.03
0.31
5
SMA
230.114
1.10
1.89
23.92
72.75
0.33
6
SMK
147.559
3.54
1.79
30.18
64.16
0.33
7
PT
236.286
-
-
-
56.54
43.46
Sumber : Balitbang 2004[8]

            Selain  kualifikasi secara akademis, guru juga kurang diikutkan untuk pelatihan-pelatihan supaya dapat meningkatkan ketrampilannya. Padahal seorang guru profesional dituntut untuk dapat mengusai banyak hal perkaitan dengan proses belajar mengajar.

Jumlah Guru Yang Kurang. Bila diandingkan dengan jumlah peserta didik, jumlah tenaga pengajar di Indonesia masih relative kurang. Realita dilapangan menunjukkan hal yang memprihatinkan. “Tidak jarang satu raung kelas sering di isi lebih dari 30 anak didik. Sebuah angka yang jauh dari ideal untuk sebuah proses belajar dan mengajar yang di anggap efektif. Idealnya, setiap kelas diisi tidak lebih dari 15-20 anak didik untuk menjamin kualitas proses belajar mengajar yang maksimal[9]”. Dalam banyak kasus, ada SD yang hanya memiliki beberapa guru sehingga mereka harus mengajar secara paralel dan simultan.
Berikut ini penulis mencoba menunjukkan data dari kekurangan Guru yang ada di Indonesia. Dari data ini dapat diperoleh informasi betapa jumlah guru yang kurang ini merupakan permasalahan yang serius.

KEKURANGAN GURU TAHUN 2004-2005
TINGKAT
2004
2005
KEBUTUHAN
KEBUTUHAN
PENSIUN
KEBUTUHAN
PENSIUN
TK
893
187
1,080
260
1,340
SD
63,144
20,399
83,543
23,918
107,461
SMP
57,537
4,707
62,244
6,270
68,514
SMU
26,120
1,498
27,618
1,685
29,303
SMK
9,972
1,073
11,045
1,175
12,220
TOTAL
157,666
27,864
185,530
33,308
218,838
Sumber : Data Direktorat Tenaga Kependidikan, 2004[10]

Pendistribusian Guru. Sisi lain permasalahan berkaitan dengan guru adalah keberadaan atau pendistribusian guru yang kurang merata.  Realita mengatakan di  daerah-daerah terpencil, masing sering terdengar adanya kekurangan guru dalam suatu wilayah, kekurangan guru dalam sebuah sekolah. Hal tersebut dapat terjadi karena beberapa factor, faktor keamanan maupun faktor-faktor lain, seperti masalah fasilitas dan kesejahteraan guru yang dianggap masih jauh yang diharapkan, factor tempat yang terpencil sehingga sulit untuk mengakses banyak hal.
Kesejahteraan Guru. Tingkat kesejahteraan guru-guru di Indonesia sangat memprihatinkan. Pendapatan para guru, dapat dikatakan masih jauh dari mencukupi, terlebih lagi bagi mereka yang masih berstatus sebagai guru bantu atau guru honorer. Kondisi seperti ini, telah merangsang sebagian para guru untuk mencari penghasilan tambahan, diluar dari tugas pokok mereka sebagai pengajar. Yang lebih mengerikan adalah termasuk praktek berbisnis dilingkungan sekolah yang dilakukan oleh beberapa guru, dimana mereka melakukan praktek jual beli buku dan lainnya. Peningkatan kesejahteaan guru yang menjadi perkara yang penting untuk dapat menjadi stimulan bagi guru guna meningkatkan profesinalismenya, termasuk dapat mencegah para guru melakukan praktek bisnis di sekolah.
Aang Kuswara mengungkapkan pendapatnya dengan menuliskan “Minimnya kesejahteraan guru telah menyebabkan konsentrasi guru terpecah menjadi beberapa sisi. Di satu sisi seorang guru harus selalu menambah kapasitas akademis pembelajaran dengan terus memperbarui dan berinovasi dengan media, metode pembelajaran, dan kapasitas dirinya. Di sisi lain, sebagai efek demonstrasi dari minimnya kesejahteraan, seorang guru dituntut memenuhi kesejahteraannya secara berbarengan”[11].
Dalam realitanya, seorang guru sering kali lebih banyak melakukan usahanya untuk memenuhi kesejahteraan keluarga. Akhirnya, seiring dengan perjalanan waktu, sisi-sisi peningkatan kualitas akademis menjadi terabaikan. Minimnya kesejahteraan guru dalam jangka waktu lama telah menggiring budaya/tradisi akademis menjadi terpinggirkan.


Kebijakan Pemerintah
Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan di indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintah mempunyai peranan penting dalam usaha meningkatkan kualitas pendidikan nasional.
[12]Kebijakan pemerintah, pada dasarnya dapat dikatagorikan dalam dua bentuk, yaitu kebijakan yang bersifat konstitusional dan kebijakan yang bersifat operasional. Kebijakan konstitusional lebih mengarah pada bagaimana pemerintah menetapkan perundang-undangan maupun peraturan-peraturan untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional kita”. Dalam hal  ini, pemerintah telah berhasil menciptakan  langkah-langkah konstruktif diantaranya, lahirnya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merupakan strategi jangka panjang dalam upaya membenahi sistem pendidikan di Indonesia. Pada sisi yang lain, “UU tersebut masih diperlukan penjabaran lebih lanjut dalam berbagai bentuk  peratutan-peraturan yang berada dibawahnya, termasuk issu Badan Hukum Pendidikan (BHP), peraturan perbukuan maupun issu sertifikasi bagi para pengajar untuk meningkatkan standar kualitas mereka”[13].
Langkah maju lainnya adalah lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang membahas mengenai Kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi. Hak dan kewajiban, pembinaan dan pengembangan. Penghargaan, perlindungan, Organisasi profesi dan kode etik. Undang-undang ini dianggap dapat  menjadi payung hukum untuk guru dan dosen tanpa adanya perlakuan yang berbeda antara guru negeri dan swasta.
Tetapi pada sisi yang lain dalam undang-undang ini terdapat beberapa hal yang memang tidak serta merta dapat dilaksanakan. Pemberian tunjangan kepada seluruh guru, akan sangat terganturng anggaran pemerintah. Sehingga pada saat anggaran pendidikan belum mencapai 20% dari APBN maka akan sangat sulit dilaksanakan. Demikian pula dengan program sertifikasi dan beberapa hal liannya, masih memerlukan proses untuk pelaksanaan dan mencapai tujuan yang diharapkan.
Kebijakan operasioanal pemerintah, lebih mengarah pada kebijakan alokasi anggaran yang ditujukan bagi sektor pendidikan nasional. UU No. 20 Tahun 2003, memang telah mengamanatkan untuk menglaokasikan 20% dari APBN/APBD untuk sektor pendidikan. Namun mengingat kemampuan keuangan Negara yang masih terbatas, maka alokasi 20% ini rencananya akan dicapai dalam beberapa tahap sesuai dengan kemampuan keuangan Negara[14].

Manajemen Sekolah
Dalam dunia pendidikan di Indonesia, yaitu kaitannya dengan manajemen pendidikan, dapat dikategorikan dalam dua kelompok yaitu yang diatur dan dibawah kendali langsung pemerintah (sekolah negeri) dan sekolah-sekolah yang di kelola oleh pihak swasta (sekolah swasta). Di antara keduanya terdapat perbedaan manajemen yang mencolok.
Tidak dapat dipungkiri, perbedaan manajemen ini pada akhirnya, sedikit banyak membawa ekses bagi mutu dan kualitas anak didik di masing-masih sekolah serta secara tidak langsung telah ikut menciptakan “ketimpangan” dalam pengelolaan sekolah. Bagi para keluarga yang secara ekonomi mapan, dengan mudahnya mereka akan memasukkan anak-anaknya pada sekolah-seklah favorit yang biasanya memerlukan pengeluaran dana yang tinggi. Tetapi  pula sebaliknya, bagi yang keluarga yang kurang mampu, biaya sekolah akan menjadi beban tersendiri yang secara otomatis mereka akan memilih sekolah-sekolah dengan biaya murah. Tentu saja sekolah dengan biaya yang murah mutu pendidikannya sering kurang memuaskan.

Sarana Prasarana
Sarana dan prasarana sekolah, merupakan salah satu kendala yang masih dihadapi oleh dunia pendidikan indonesia. Kemampuan keuangan yang masih terbatas, telah menyebabkan kurang terpenuhinya sarana infrastruktur bagi pendidikan yang baik. Kondisi sekolah masih jauh dari memadai. Mulai dari jumlah gedung kurang, ada pula gedung yang rusak, ruang kelas yang terbatas maupun kurang lengkapnya alat-alat laboratorium yang sangat dibutuhkan dalam pencapaian proses belajar mengajar, merupakan beberapa kendala nyata yang masih diadapi dunia pendidikan Indonesia. 
            Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat”[15].

Rendahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja.
Permasalahan lain yang terjadi dalam dunia pendidikan indonesia adalah Rendahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja. Hal ini dapat terproyeksi melalui kenyataan bahwa ada banyak para pekerja tidak bekerja sesuai dengan pendidikan yang telah ditempuh. Realita yang lain dapat terlihat dari jumlah angka pengangguran yang semakin meningkat di Indonesia, yang kenyataanya tidak hanya dipengaruhi oleh terbatasnya lapangan kerja. Namun adanya perbedaan yang cukup besar antara hasil pendidikan dan kebutuhan kerja.

Rendahnya mutu pendidikan.
Problematikan berikutnya adalah rendahnya mutu pendidikan di Indoenesia. Hal yang menunjukkan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia dapat terlihat dari laporan International Education Achievement (IEA).  ”Menurut IEA, kemampuan membaca untuk tingkat SD siswa Indonesia berada dalam urutan ke-38 dari 39 negara peserta studi. Sementara kemampuan matematika siswa SLTP Indonesia berada dalam urutan ke-39 dari 42 negara. Adapun kemampuan IPA, Indonesia masuk dalam urutan ke-40 dari 42 negara  Jika dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN, ternyata posisi Indonesia tetap berada pada urutan paling bawah. Selanjutnya Peringkat indeks pengembangan manusia (Human Development Index) masih sangat rendah. Menurut data tahun 2004, dari 117 negara yang disurvei Indonesia berada pada peringkat 111 dan pada tahun 2005 peringkat 110 dibawah Vietnam yang berada di peringkat 108. sebagai konsekuensi logis dari indikator-indikator di atas adalah penguasaan terhadap IPTEK di mana kita masih tertinggal dari negara-negara seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand”[16].
Rendahnya Prestasi Siswa
Beberapa faktor permasalahan di atas (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) membuat pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. “Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat”[17].
Permasalahan lain berkaitan dengan siswa adalah menurunnya aklak dan moral dari peserta didik. Seiring perkembangan jaman dan pesatnya kemajuan tehnologi memicu terjadinya degradasi moral anak-anak peserta didik.




BAB III

GURU PROFESIONAL

        Kebutuhan akan tenaga pengajar yang professional merupakan kebutuhan yang mendesak. Program peningkatan kualitas dan profesionalisme guru sangatlah diperlukan, apa pun sebutannya. Dalam sejarah dicatatkan, usaha-usaha Negara-negara maju dalam upayanya meningkatkan kompetensin guru, menarik untuk diperhatikan. “Di Amerika Serikat, dimulai dengan munculnya reformasi pendidikan yang diinisiasi oleh keberadaan laporan federal yang berjudul A Nation at Risk pada 1983. Laporan ini lantas melahirkan laporan penting berjudul A Nation Prepared: Teachers for 21st Century. Dalam laporan tersebut, direkomendasikan adanya pembentukan National Board for Professional Teaching Standards, dewan nasional standar pengajaran profesional di Amerika Serikat pada 1987. Demikian juga di Jepang, UU Guru ada sejak 1974 dan UU Sertifikasi pada 1949. Sementara di Cina, UU Guru hadir pada 1993 dan PP Kualifikasi Guru pada 2001”[18].

Pengertian Profesional
       Istilah professional berasal dari profession, yang mengandung arti sama dengan occupation atau pekerjaan yang memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus. Ada beberapa pengertian yang berkaitan dengan professionalisme yaitu okupasi, profesi dan amatif. Terkadang membedakan antar para professional, amatir dan delitan. Maka para professional adalah para ahli di dalam bidangnya yang telah memperoleh pendidikan atau pelatihan yang khusus untuk pekerjaan itu[19].
Untuk lebih mengerti lebih dalam mengenai profesi dan professional penulis mengutip apa yang disampaikan oleh Ravik Karsidi. Beliau mengatakan “Profesi diukur berdasarkan kepentingan dan tingkat kesulitan yang dimiliki. Dalam
dunia keprofesian kita mengenal berbagai terminologi kualifikasi profesi yaitu: profesi, semi profesi, terampil, tidak terampil, dan quasi profesi”[20].
Lebih jauh, “Gilley dan Eggland (1989) mendefinisikan profesi sebagai bidang usaha manusia berdasarkan pengetahuan, dimana keahlian dan pengalaman pelakunya diperlukan oleh masyarakat. Definisi ini meliputi aspek yaitu : a. Ilmu pengetahuan tertentu b. Aplikasi kemampuan/kecakapan, dan c. Berkaitan dengan kepentingan umum”[21].Aspek-aspek yang diungkapkan Gilley tersebut juga merupakan aspek-aspek standar pengukuran profesi guru.
Sedangkan professional Radik menuliskan “proses profesional adalah proses evolusi yang menggunakan pendekatan organisasi dan sistemastis untuk mengembangkan profesi ke arah status professional (peningkatanstatus). Secara teoritis menurut Gilley dan Eggland (1989) pengertian professional dapat didekati dengan empat prespektif pendekatan yaitu orientasi filosofis, perkembangan bertahap, orientasi karakteristik, dan orientasi non-tradisonal[22].

Citra Guru Profesional
Profesi sebagai guru adalah sebuah pekerjaan yang istimewa serta terkandung sebuah tanggung jawab yang tidak ringan, untuk itu seorang guru harus mampu melaksanakan pekerjaan dan kewajibannya secara profesional. “Seseorang dianggap profesional apabila mampu mengerjakan tugasnya dengan selalu berpegang teguh pada etika kerja, independent (bebas dari tekanan pihak luar), cepat (produktif), tepat (efektif), efisien dan inovatif serta didasarkan pada prinsip-prinsip pelayanan prima yang didasarkan pada unsur-unsur ilmu atau teori yang sistematis, kewenangan profesional, pengakuan masyarakat dan kode etik yang regulatif. Pengembangan wawasan dapat dilakukan melalui forum pertemuan profesi, pelatihan ataupun upaya pengembangan dan belajar secara mandiri”[23].
“Profesionalisme guru adalah kemampuan guru untuk melakukan tugas pokoknya sebagai pendidik dan pengajar meliputi kemampuan merencanakan, melakukan, dan melaksanakan evaluasi pembelajaran”[24].
Sejalan dengan hal di atas, seorang guru perlu untuk  terus mengembangkan profesionalismenya melalui berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan kemampuannya dalam mengelola pembelajaran maupun kemampuan lain dalam upaya menjadikan peserta didik memiliki keterampilan belajar. Usaha-usaha tersebut meliputi atau mencakup “keterampilan dalam memperoleh pengetahuan (learning to know), keterampilan dalam pengembangan jati diri (learning to be), keterampilan dalam pelaksanaan tugas-tugas tertentu (learning to do), dan keterampilan untuk dapat hidup berdampingan dengan sesama secara harmonis (learning to live together)”[25].
            Ada banyak aspek yang harus seorang guru penuhi guna mejadi pengajar atau guru profesional. Berikut ini penulis memaparkan kriteria atau citra guru yang profesional. Di antaranya adalah:

Pengajar dengan Kompetensi yang baik.
di Indonesia telah ditetapkan sepuluh kompetensi yang harus dimiliki oleh guru sebagai instructional leader, yaitu[26]:
(1) memiliki kepribadian ideal sebagai guru;
(2) penguasaan landasan pendidikan;
(3)menguasai bahan pengajaran;
(4)kemampuan menyusun program pengajaran;
(6) kemampuan menilai hasil dan proses belajar mengajar;
(7)kemampuan menyelenggarakan program bimbingan;
(8) kemampuan menyelenggarakan administrasi sekolah;
(9) kemampuan bekerja sama dengan teman sejawat dan masyarakat; dan
(10) kemampuan menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran.
Penulis berpendapat bahwa sebagai guru profesional seorang guru perlu mempunyai kompetensi yang baik, yang dapat menunjang ia dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaannya sebagai pengajar. Kompetensi-kompetensi penting tersebut penulis klasifikasikan menjadi tiga, ketiganya adalah:

Pertama, kompotensi profesional, yaitu kompetensi pada bidang substansi atau bidang studi, kompetensi bidang pembelajaran, metode pembelajaran, sistem penilaian, pendidikan nilai dan bimbingan. Hal-hal yang koheren dengan ini secara lebih detail antara lain: “konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional”[27].

Kedua, kompetensi sosial, yaitu kompetensi pada bidang hubungan dan pelayanan, pengabdian masyarakat, yaitu kemapuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat. Praktek secara lebih rinci dari hal ini antara lain: ”berkomunikasi lisan dan tulisan;
menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesame pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar”[28].
Ketiga, kompetensi personal, yaitu kompetensi nilai yang dibangun melalui perilaku yang dilakukan guru, memiliki karakter yang unggul, kepribadi dan penampilan yang menarik, mengesankan sehingga menjadi dambaan setiap orang, sosok guru yang menjadi tauladan bagi siswa dan panutan masyarakat. Selain itu juga mempunyai  sikap dan kepribadian yang konstruktif, di antaranya: “mantap; stabil; dewasa;
arif dan bijaksana; berwibawa; berakhlak mulia; menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; mengevaluasi kinerja sendiri; dan lainnya”[29].
Pendapat mengenai pentingnya kompetensi personal ini juga penulis dapatkan dalam salah satu artikel di internet yang menuturkan bahwa “Profesi guru sangat identik dengan peran mendidik seperti membimbing, membina, mengasuh ataupun mengajar. Ibarat sebuah contoh lukisan yang akan ditiru oleh anak didiknya. Baik buruk hasil lukisan tersebut tergantung dari contonya. Guru (digugu dan ditiru)  otomatis menjadi teladan. Melihat peran tersebut, sudah menjadi kemutlakan bahwa guru harus memiliki integritas dan personaliti yang baik dan benar. Hal ini sangat mendasar, karena tugas guru bukan hanya mengajar (transfer knowledge)  tetapi juga menanamkan nilai - nilai dasar dari bangun karakter atau akhlak anak”[30].

Mengembangkan diri sesuai tuntutan
Guru profesional adalah guru yang lulus sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah. Guna memenuhi persyaratan tersebut setiap guru wajib melakukan berbagai kegiatan dalam melaksanakan tugas dan tanggung-jawabnya. Lingkup kegiatan guru tersebut meliputi :
(1) mengikuti pendidikan, atau mempunyai pendidikan yang sesuai. Mengembangkan diri dalam tingkat pendidikan sehingga mempunyai tingkat pendidikan yang sesuai dengan syarat yang telah ditetapkan.
(2) menangani proses pembelajaran, melaksanakan tugas yang mencakup seluruh proses pembelajaran sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.
(3) melakukan kegiatan pengembangan profesi. Hal ini dapat ditempuh dengan mengikuti berbagai lokakarya, seminar dan juga pelatihan-pelatihan.
(4) melakukan kegiatan penunjang. Salah satu contoh kegiatan penunjang adalah melakukan riset dan menulis karya ilmiah.

Tantangan Profesionalisme Guru
Pertama: Perkembangan Tehnologi Informasi
Perkembangan teknologi informasi merupakan sebuah tantangan baru. Adanya perkembangan teknologi informasi yang demikian akan mengubah pola hubungan guru-murid, teknologi instruksional dan sistem pendidikan secara keseluruhan.
Dengan kemudahan-kemudahan yang di dapat peserta didik untuk mendapatkan informasi, hal ini dapat mengakibatkan pergeseran sumber informasi yang tadinya berasal dari guru dan sekolah beralih kepada dunia maya.
Perkembangan teknologi (terutama teknologi informasi) menyebabkan peranan
Sekolah sebagai lembaga pendidikan akan mulai bergeser dan boleh dikatakan berkurang fungsinya. Salah satu alasannya, karena sekolah tidak lagi akan menjadi satu-satunya pusat pembelajaran karena aktivitas belajar tidak lagi terbatasi oleh ruang danwaktu. Peran guru juga tidak akan menjadi satu-satunya sumber belajar karena banyaksumber belajar dan sumber informasi yang mampu memfasilitasi seseorang untuk belajar.
            Inilah tantangan guru dalam mengembangkan profesionalismenya. Apakah perannya akan digantikan oleh teknologi informasi, atau guru yang memanfaatkan teknologi informasi untuk menunjang peran profesinya.

Kedua: Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan
Awal mula pergeseran paradigma pembangunan yang dominan ke paradigma
desentralistik mulai sejak munculnya UU No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah yang menandai perlunya desentralisasi dalam banyak urusan yang semula dikelola secara sentralistik.
            Perlu dimengerti desentralisasi adalah penyerahan sebagian otoritas pemerintah pusat ke daerah, untuk mendistribusikan beban pemerintah pusat ke daerah sehingga daerah dan masyarakatnya ikut menanggung beban tersebut. Hal ini menyangkut juga masalah pendidikan.
            “Dalam desentralisasi pendidikan, pemerintah pusat lebih berperan dalam menghasilkan kebijaksanaan mendasar (menetapkan standar mutu pendidikan secara nasional), sementara kebijaksanaan operasional yang menyangkut variasi keadaan daerah didelegasikan kepada pejabat daerah bahkan sekolah”[31].
            Yang menjadi permasalahan di sini adalah berkaitan dengan pendanaan, bahwa tidak semua daerah mempunyai pendanaan yang mencukupi guna keberlangsungan proses pendidikan di daerahnya.

Langkah Solusi Menuju Guru Profesional
Penulis berpendapat sedikitnya ada dua cara atau langkah guna meminimalisir permasalahan pendidikan yang ada di Indonesia.

Pertama, solusi sistemik, “yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan”[32].

Kedua, solusi teknis, Jalan yang dapat dilakukana secara teknis untuk meningkatkan Profesionalisme guru antara lain: 
Gaji yang memadai.
Pemerintah dalam hal ini sebagai pemegang kewenangan tertinggi dalam dunia pendidikan di Indonesia perlu memikirkan dan metata ulang sistem penggajian guru, agar guru dapat menerima penghasilan yang sepadan dengan biaya hidupnya, mencukupi pembiayaan hidupnya, lebih dari pada itu supaya dapat mengembangkan diri dan melengkapi diri dengan berbagai hal uang menunjang profesinya.
Dengan penghasilan yang baik, tidak perlu guru merepotkan diri mencari nafkah tambahan di luar jam kerjanya. Guru akan lebih berkonsentrasi pada profesinya, tanpa harus mengkhawatirkan kehidupan rumah tangganya serta mengkawatirakan masa depan putra-putrinya.
Pada sisi yang lain, guru akan mempunyai waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri tampil prima di depan kelas, juga mempersiapkan materi dengan baik. Keefektifan dan efisiensi yang ada, tidak menutup kemungkinan akan membuat guru-guru dapat menghasilkan karya-karya yang dapat menolong profesinya, misalnya berupa buku-buku pembelajaran, buku tersebut juga dapat menolong rekan-rekan yang lain yang membutuhkan.
Pada akhirnya hal tersebut dapat lebih menyejahterakan kehidupan guru dan akan lebih meningkatkan status sosial guru. Guru akan lebih dihormati dan dikagumi oleh anak didiknya, secara pribadi guru juga akan lebih semangat dalam menekuni profesinya. Jika anak didik mengagumi gurunya maka motivasi belajar siswa akan meningkat dan pendidikan pasti akan lebih bermutu kualitasnya.

Kurangi beban guru dari tugas-tugas administrasi yang sangat menyita waktu.
Sebaiknya tugas-tugas administrasi yang selama ini harus dikerjakan seorang guru, dibuat oleh suatu tim di Diknas atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) yang disesuaikan dengan kondisi daerah dan bersifat fleksibel (bukan harga mati) lalu disosialisasikan kepada guru melalui sekolah-sekolah. Hal ini dapat dijadikan sebagai pegangan guru mengajar dalam mengajar dan membantu guru-guru pemula untuk mengajar tanpa membebani tugas-tugas rutin guru[33].

Pelatihan dan sarana.
Salah satu usaha untuk meningkatkan profesionalitas guru adalah pendalaman materi pelajaran melalui pelatihan-pelatihan. Yaitu dengan memberi kesempatan guru untuk mengikuti pelatihan-pelatihan dengan biaya yang ringan atau melengkapi sarana dan kesempatan agar guru dapat banyak membaca buku-buku materi pelajaran yang dibutuhkan guru untuk memperdalam pengetahuannya[34].


KESIMPULAN

Mempertimbangan dan memperhatikan peran guru dan tugas guru sebagai salah satu faktor determinan bagi keberhasilan pendidikan, maka keberadaan dan peningkatan profesi guru merupakan persoalan yang sangat penting dan mendesak.
Profesionalisme guru menjadi salah satu kunci guna menumbuhkan mutu pendidikan di Indonesia. Mengingat profesionalisme guru merupakan proses panjang karena tidak dengan singkat dapat terlaksana, hendaknya memacu para guru untuk mempersiapkan diri dan memperlengkapi diri dengan sebaik-baiknya.
Dalam upaya peningkatan, di sinilah dibutuhkan koordinasi antar lembaga yang bersangkutan untuk bergandeng tangan, bergotong royong menopang proses pendidikan yang ada. Permasalah-permasalah dalam dunia pendidikan merupakan tanggung jawab semua elemen bangsa. Bukan waktunya untuk hanya mencari sumber permasalah, melainkan inilah waktu yang tepat untuk mencari solusi guna terciptanya keadaan proses pendidikan yang lebih baik di Indonesia.
Dengan dimunculkannya Undang-Undang tentang Guru dan Dosen mengindikasikan geliat positif dalam ranah pendidikan di Indonesia. Berkaitan dengan ini dibutuhkan kesiapan dari pihak guru-guru untuk meningkatkan diri guna dapat menjadi tenaga pengajar yang kompeten sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
Guru-guru PAK perlu menyadari bahwa panggilan pekerjaan ini merupakan pekerjaan yang sangat mulia, mengingat profesi ini mempunyai peranan yang sangat vital bagi kemajuan, perkembangan, pertumbuhan serta peningkatan mutu, kualitas serta karakter peserta didik yang ada.







Daftar Pustaka


Aang Kusmawan.
Dalam artikel “Profesionalisme Guru di Tahun 2009” Internet http://www.ahmadheryawan.com/opini-media/pendidikan/1233-profesionalisme-guru-di-tahun-2009.html

Hakam Naja.
Internet: http://www.e-dukasi.net/artikel/index.php?id=18 diakses pada tanggal 23 Februari 2010

Bachtiar.
Dalam artikel “Menjadi Guru Profesional Bukan Sekedar Lulus Uji Sertifikasi”. Internet:menjadi+guru+profesional+bukan+sekedar+lulus+uji+setifikasi&fp=3c535af0b522fb05 diakses pada tanggal 19 Februari 2010

E. Mulyasa.
Dalam artikel “Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan”. Internet: www.pdat.co.id/hg/newbooks_pdat/2005/03/28/nwb,20050328-02,id.html diakses tanggal 19 February 2010

MarkusBasuki.
Dalam artikel menjadi guru profesional bukan sekedar lulus uji sertifikasi. Internet:menjadi+guru+profesional+bukan+sekedar+lulus+uji+setifikasi&fp=3c535af0b522fb05. diakses pada tanggal 19 Februari 2010

Oktovianus Suhalata.
Internet: http://re-searchengines.com/oktovianus0908.html diakses pada tanggal 19 February 2010

Ravik Karsisi
Dalam makalah “PROFESIONALISME GURU DAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH Bersumber dari Internet: http://www.uns.ac.id/data/0023.pdf diakses tanggal 23 February 2010

Sulipan.




Suryadi. 
Dalam artikel “Guru profesional antara angan dan asa”. Internet. http://206.53.239.180/post/ppi/ppiindia-Guru-Profesional-Antara-Angan-Dan-Asa. diakses tanggal 19 February 2010

Artikel: “profesionalisme Guru” internet: www.alfurqon.or.id/component/content/article/64-guru/343-profesionalisme-guru. diakses tanggal 23 Februari 2010

Makalah : Profesionalisme Guru. Terambil di Internet: http://www.infoskripsi.com/Article/Profesionalisme-Guru.html diakses tanggal 23 Februari 2010

Artikel. “Menjadi Guru Profesionalhttp://desireminsa.multiply.com/journal/item/3, diakses tanggal 19 February 2010
internet: www. Unhas.ac.id diakses pada tanggal 23 Februari 2010
















[1]MarkusBasuki.Internet:menjadi+guru+profesional+bukan+sekedar+lulus+uji+setifikasi&fp=3c535af0b522fb05. diakses pada tanggal 19 Februari 2010
[2] internet: www. Unhas.ac.id diakses pada tanggal 23 Februari 2010
[4] Oktovianus Suhalata. Internet: http://re-searchengines.com/oktovianus0908.html diakses pada tanggal 19 February 2010
[5] E. Mulyasa. Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Internet: www.pdat.co.id/hg/newbooks_pdat/2005/03/28/nwb,20050328-02,id.html diakses tanggal 19 February 2010
[6]Bachtiar.dalam artikel “Menjadi Guru Profesional Bukan Sekedar Lulus Uji Sertifikasi”. Internet:menjadi+guru+profesional+bukan+sekedar+lulus+uji+setifikasi&fp=3c535af0b522fb05 diakses pada tanggal 19 Februari 2010
[7]Suryadi.  Internet. http://206.53.239.180/post/ppi/ppiindia-Guru-Profesional-Antara-Angan-Dan-Asa. diakses tanggal 19 February 2010
[8] A. Hakam Naja. Internet: http://www.e-dukasi.net/artikel/index.php?id=18 diakses pada tanggal 23 Februari 2010
[9]Bachtiar.dalam artikel “Menjadi Guru Profesional Bukan Sekedar Lulus Uji Sertifikasi”. Internet:menjadi+guru+profesional+bukan+sekedar+lulus+uji+setifikasi&fp=3c535af0b522fb05 diakses pada tanggal 19 Februari 2010
[10] A. Hakam Naja. Internet: http://www.e-dukasi.net/artikel/index.php?id=18 diakses pada tanggal 23 Februari 2010
[11] Aang Kusmawan. Dalam artikel “Profesionalisme Guru di Tahun 2009” Internet http://www.ahmadheryawan.com/opini-media/pendidikan/1233-profesionalisme-guru-di-tahun-2009.html
[12] Bachtiar.dalam artikel “Menjadi Guru Profesional Bukan Sekedar Lulus Uji Sertifikasi”. Internet:menjadi+guru+profesional+bukan+sekedar+lulus+uji+setifikasi&fp=3c535af0b522fb05 diakses pada tanggal 19 Februari 2010
[13] Ibid
[14] Ibid
[16]Bachtiar.dalam artikel “Menjadi Guru Profesional Bukan Sekedar Lulus Uji Sertifikasi”. Internet:menjadi+guru+profesional+bukan+sekedar+lulus+uji+setifikasi&fp=3c535af0b522fb05 diakses pada tanggal 19 Februari 2010
[18] Suryadi. Op,cit
[20] Ravik Karsisi dalam makalah “PROFESIONALISME GURU DAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH Bersumber dari Internet: http://www.uns.ac.id/data/0023.pdf diakses tanggal 23 February 2010
[21] Ibid
[22] ibid
[24] artikel: “profesionalisme Guru” internet: www.alfurqon.or.id/component/content/article/64-guru/343-profesionalisme-guru. diakses tanggal 23 Februari 2010
[25] Ibid
[26] Makalah : Profesionalisme Guru. Terambil di Internet: http://www.infoskripsi.com/Article/Profesionalisme-Guru.html diakses tanggal 23 Februari 2010

[27] artikel: “profesionalisme Guru” internet: www.alfurqon.or.id/component/content/article/64-guru/343-profesionalisme-guru. diakses tanggal 23 Februari 2010
[28] Ibid
[29] Ibid
[30] Internet dalam artikel. Menjadi Guru Profesional http://desireminsa.multiply.com/journal/item/3, diakses tanggal 19 February 2010
[31] Ravik Karsisi dalam makalah “PROFESIONALISME GURU DAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH Bersumber dari Internet: http://www.uns.ac.id/data/0023.pdf
[33] Bachtiar.dalam artikel “Menjadi Guru Profesional Bukan Sekedar Lulus Uji Sertifikasi”. Internet:menjadi+guru+profesional+bukan+sekedar+lulus+uji+setifikasi&fp=3c535af0b522fb05 diakses pada tanggal 19 Februari 2010
[34] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar