PROFESI KEGURUAN
Oleh: Yusup Rogo
Yuono
Pendahuluan
Bangsa yang berkualitas adalah
bangsa yang mempunyai pendidikan yang maju. Karena pendidikan adalah penentu
sebuah bangsa menjadi berkembang dan berkualitas. Melihat ke bangsa sendiri,
yaitu Indonesia, keadaan dunia pendidikannya sangat memprihatinkan. “Data
UNESCO (2000) membuktikan bahwa peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human
Development Index) Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia,
Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998) dan
ke-109 (1999). Dan menurut survey Political and Economic Risk Consultant
(PERC), kualitan pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12
negara di Asia. Sedang data Balitbang (2003) menunjukkan kenyataan bahwa dari
146.052 Sekolah Dasar di Indonesia ternyata hanya ada delapan sekolah yang
mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari
20.918 SMP di Indonesia hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia
dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA hanya tujuh
sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program”[1]


Table data diatas meruakan tabel
rangking Indonesia dalam bidang pendidikan yang berhasil penulis dapatkan. Sumber
tabel diatas: internet: www. Unhas.ac.id[2]
Apabila problematika di atas
ditelusuri penyebabnya, maka akan didapati permasalahan yang munti-dimensional
dalam dunia pendidikan Indonesia. Sebagai contoh, permasalahan tersebut antara
lain: Sistem pendidikan yang berubah-ubah, infrastruktur penunjang, tenaga
pengajar, dan sejumlah penyebab lain. Dari beberapa factor yang ada, guru
mempunyai posisi yang vital.
Guru mempunyai peranan penting
dalam dunia pendidikan, seperti ada ungkapan yang mengatakan “Guru merupakan
tokoh sentral dalam dunia pendidikan yang sangat menentukan kearah mana sebuah
bangsa sedang menuju”[3].
Pentingnya peren guru juga diungkapkan oleh Oktovianus Suhalata yang menyatakan
“Guru, akhirnya menjadi salah satu faktor menentukan dalam konteks meningkatkan
mutu pendidikan dan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas karena
guru adalah garda terdepan yang berhadapan langsung dan berinteraksi dengan
siswa dalam proses belajar mengajar. Mutu pendidikan yang baik dapat dicapai
dengan guru yang profesional dengan segala kompetensi yang dimiliki.”[4]
Guru merupakan tokoh pembaharu
dan pembawa kemajuan, mengingat perannya yang sangat penting dalam mencetak dan
melahirkan generasi, yang nantinya akan mewarnai kemajuan suatu bangsa. Guru
merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam peningkatan kualitas
sumber daya manusia dan perluasan kesempatan layanan belajar. Itulah sebabnya
berbagai negara memberikan perhatian yang besar dalam pengadaan atau penyiapan
tenaga guru. Belajar dari Jepang, sejarah kemajuan yang dialami Jepang
merupakan pelajaran yang berharga yang patut diteladani. Sejarah mengatakan
bahwa “setelah Nagasaki dan Hiroshima dibom atom oleh sekutu, langkah pertama
yang dilakukan pemerintah Jepang adalah menghitung jumlah guru dan dokter yang
tersisa. Mereka membangun kembali bangsanya yang porakporanda itu dimulai dari
bidang pendidikan dan kesehatan. Hasilnya sangat menakjubkan, selama kurang
dari 20 tahun, Jepang berhasil mensejajarkan negaranya dengan negara-negara
maju lainnya di dunia”[5].
Demi terciptanya kuaitas yang
baik serta mutu yang tinggi dalam dunia pendidikan di indonesia, keberadaan
tenaga pengajar yang profesional sangatlah dibutuhkan. Profesionalisme
dibutuhkan sebagai salah satu upuya untuk meminimalisir
permasalahan-permasalahan dalam dunia pendidikan Indonesia.
Bab II
MASALAH DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA
Buruknya dunia pendidikan Indonesia
yang penulis paparkan dalam bagian pendahuluan merupakan fakta yang bukan
sepenuhnya merupakan kesalahan guru. Ada berbagai sumber permasalahan yang
menjadi penyebabnya. Dalam bagian ini penulis mencoba memaparkan permasalahan-permasalahan
dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Pertama: Masalah Guru
Guru merupakan pioner dalam
pembangunan Negara. “Keberadaan peran dan fungsi guru merupakan salah satu
faktor yang sangat signifikan. Guru merupakan bagian terpenting dalam proses
belajar mengajar, baik di jalur pendidikan formal maupun informal. Oleh sebab
itu, dalam setiap upaya peningkatan kualitas pendidikan di tanah air, tidak
dapat dilepaskan dari berbagai hal yang berkaitan dengan eksistensi guru itu
sendiri”[6],
demikianlah yang dituliskan Bachtiar.
Setidak-tidaknya ada beberapa hal
yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi guru di Indonesia, yaitu :
pertama, masalah kualitas/mutu guru, kedua, jumlah guru yang dirasakan masih
kurang, ketiga, masalah distribusi guru dan
masaah kesejahteraan guru.
Kualitas Guru. “Terdapat hampir separo dari sekitar 2,6 juta
guru di Indonesia tidak layak mengajar. Kualifikasi dan kompetensinya tidak
mencukupi untuk mengajar di sekolah. Demikian pernyataan Direktur Jenderal
Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Fasli Djalal di sebuah surat
kabar nasional. Lebih rinci disebutkan, saat ini yang tidak layak mengajar atau
menjadi guru sekitar 912.505. Terdiri atas 605.217 guru SD, 167.643 guru SMP,
75.684 guru SMA, dan 63.961 guru SMK.”[7]
Demikianlah informasi yang dituliskan Suryadi berkaitan dengan kualitas guru.
Informasi tersebut mengindikasikan bahwa kualitas pengajar di Indonesia masih
sangat minim.
Berdasarkan kriteria secara
akademik, baik itu
menyangkut pendidikan minimal maupun kesesuaian latar belakang bidang studi
dengan pelajaran yang harus diberikan, masih terdapat ketidak sesuaian.
Dari
distribusi data di bawah ini dapat diketahui bahwa angka guru yang belum
memenuhi kualifikasi akademisnya cukup besar.
GURU MENURUT IJAZAH TERTINGGI TAHUN 2002/2003
No
|
Pendidikan
|
Jumlah
Guru
|
Ijazah
Tertinggi i(dalam %)
|
||||
<D1
|
D2
|
D3
|
S1
|
S2/S3
|
|||
1
|
TK
|
137.069
|
90.57
|
5.55
|
-
|
3.88
|
-
|
2
|
SLB
|
8.304
|
47.58
|
-
|
5.62
|
46.35
|
0.45
|
3
|
SD
|
1.234.927
|
49.33
|
40.14
|
2.17
|
8.30
|
0.05
|
4
|
SMP
|
466.748
|
11.23
|
21.33
|
25.10
|
42.03
|
0.31
|
5
|
SMA
|
230.114
|
1.10
|
1.89
|
23.92
|
72.75
|
0.33
|
6
|
SMK
|
147.559
|
3.54
|
1.79
|
30.18
|
64.16
|
0.33
|
7
|
PT
|
236.286
|
-
|
-
|
-
|
56.54
|
43.46
|
Sumber :
Balitbang 2004[8]
Selain kualifikasi secara akademis, guru juga kurang
diikutkan untuk pelatihan-pelatihan supaya dapat meningkatkan ketrampilannya.
Padahal seorang guru profesional dituntut untuk dapat mengusai banyak hal
perkaitan dengan proses belajar mengajar.
Jumlah Guru Yang Kurang. Bila diandingkan dengan jumlah peserta
didik, jumlah tenaga pengajar di Indonesia masih relative kurang. Realita
dilapangan menunjukkan hal yang memprihatinkan. “Tidak jarang satu raung kelas
sering di isi lebih dari 30 anak didik. Sebuah angka yang jauh dari ideal untuk
sebuah proses belajar dan mengajar yang di anggap efektif. Idealnya, setiap
kelas diisi tidak lebih dari 15-20 anak didik untuk menjamin kualitas proses
belajar mengajar yang maksimal[9]”. Dalam banyak kasus, ada SD yang
hanya memiliki beberapa guru sehingga mereka harus mengajar secara paralel dan
simultan.
Berikut ini penulis mencoba menunjukkan data dari kekurangan
Guru yang ada di Indonesia. Dari data ini dapat diperoleh informasi betapa
jumlah guru yang kurang ini merupakan permasalahan yang serius.
KEKURANGAN
GURU TAHUN 2004-2005
TINGKAT
|
2004
|
2005
|
KEBUTUHAN
|
||
KEBUTUHAN
|
PENSIUN
|
KEBUTUHAN
|
PENSIUN
|
||
TK
|
893
|
187
|
1,080
|
260
|
1,340
|
SD
|
63,144
|
20,399
|
83,543
|
23,918
|
107,461
|
SMP
|
57,537
|
4,707
|
62,244
|
6,270
|
68,514
|
SMU
|
26,120
|
1,498
|
27,618
|
1,685
|
29,303
|
SMK
|
9,972
|
1,073
|
11,045
|
1,175
|
12,220
|
TOTAL
|
157,666
|
27,864
|
185,530
|
33,308
|
218,838
|
Sumber :
Data Direktorat Tenaga Kependidikan, 2004[10]
Pendistribusian Guru. Sisi lain permasalahan berkaitan dengan
guru adalah keberadaan atau pendistribusian guru yang kurang merata. Realita mengatakan di daerah-daerah terpencil, masing sering
terdengar adanya kekurangan guru dalam suatu wilayah, kekurangan guru dalam
sebuah sekolah. Hal tersebut dapat terjadi karena beberapa factor, faktor
keamanan maupun faktor-faktor lain, seperti masalah fasilitas dan kesejahteraan
guru yang dianggap masih jauh yang diharapkan, factor tempat yang terpencil
sehingga sulit untuk mengakses banyak hal.
Kesejahteraan Guru. Tingkat kesejahteraan guru-guru di
Indonesia sangat memprihatinkan. Pendapatan para guru, dapat dikatakan masih
jauh dari mencukupi, terlebih lagi bagi mereka yang masih berstatus sebagai
guru bantu atau guru honorer. Kondisi seperti ini, telah merangsang sebagian
para guru untuk mencari penghasilan tambahan, diluar dari tugas pokok mereka
sebagai pengajar. Yang lebih mengerikan adalah termasuk praktek berbisnis
dilingkungan sekolah yang dilakukan oleh beberapa guru, dimana mereka melakukan
praktek jual beli buku dan lainnya. Peningkatan kesejahteaan guru yang menjadi
perkara yang penting untuk dapat menjadi stimulan bagi guru guna meningkatkan
profesinalismenya, termasuk dapat mencegah para guru melakukan praktek bisnis
di sekolah.
Aang Kuswara mengungkapkan
pendapatnya dengan menuliskan “Minimnya kesejahteraan guru telah menyebabkan
konsentrasi guru terpecah menjadi beberapa sisi. Di satu sisi seorang guru
harus selalu menambah kapasitas akademis pembelajaran dengan terus memperbarui
dan berinovasi dengan media, metode pembelajaran, dan kapasitas dirinya. Di
sisi lain, sebagai efek demonstrasi dari minimnya kesejahteraan, seorang guru
dituntut memenuhi kesejahteraannya secara berbarengan”[11].
Dalam realitanya, seorang guru
sering kali lebih banyak melakukan usahanya untuk memenuhi kesejahteraan
keluarga. Akhirnya, seiring dengan perjalanan waktu, sisi-sisi peningkatan
kualitas akademis menjadi terabaikan. Minimnya kesejahteraan guru dalam jangka
waktu lama telah menggiring budaya/tradisi akademis menjadi terpinggirkan.
Kebijakan Pemerintah
Dalam kaitannya dengan dunia
pendidikan di indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintah mempunyai
peranan penting dalam usaha meningkatkan kualitas pendidikan nasional.
“[12]Kebijakan
pemerintah, pada dasarnya dapat dikatagorikan dalam dua bentuk, yaitu kebijakan
yang bersifat konstitusional dan kebijakan yang bersifat operasional. Kebijakan
konstitusional lebih mengarah pada bagaimana pemerintah menetapkan
perundang-undangan maupun peraturan-peraturan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan nasional kita”. Dalam hal
ini, pemerintah telah berhasil menciptakan langkah-langkah konstruktif diantaranya,
lahirnya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merupakan
strategi jangka panjang dalam upaya membenahi sistem pendidikan di Indonesia.
Pada sisi yang lain, “UU tersebut masih diperlukan penjabaran lebih lanjut
dalam berbagai bentuk
peratutan-peraturan yang berada dibawahnya, termasuk issu Badan Hukum
Pendidikan (BHP), peraturan perbukuan maupun issu sertifikasi bagi para pengajar
untuk meningkatkan standar kualitas mereka”[13].
Langkah maju lainnya adalah
lahirnya Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang membahas mengenai Kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi. Hak dan
kewajiban, pembinaan dan pengembangan. Penghargaan, perlindungan, Organisasi profesi
dan kode etik. Undang-undang ini dianggap dapat menjadi payung hukum
untuk guru dan dosen tanpa adanya perlakuan yang berbeda antara guru negeri dan
swasta.
Tetapi pada sisi yang lain dalam undang-undang ini terdapat beberapa hal
yang memang tidak serta merta dapat dilaksanakan. Pemberian tunjangan kepada
seluruh guru, akan sangat terganturng anggaran pemerintah. Sehingga pada saat
anggaran pendidikan belum mencapai 20% dari APBN maka akan sangat sulit
dilaksanakan. Demikian pula dengan program sertifikasi dan beberapa hal
liannya, masih memerlukan proses untuk pelaksanaan dan mencapai tujuan yang
diharapkan.
Kebijakan operasioanal
pemerintah, lebih mengarah pada kebijakan alokasi anggaran yang ditujukan bagi
sektor pendidikan nasional. UU No. 20 Tahun 2003, memang telah mengamanatkan
untuk menglaokasikan 20% dari APBN/APBD untuk sektor pendidikan. Namun
mengingat kemampuan keuangan Negara yang masih terbatas, maka alokasi 20% ini
rencananya akan dicapai dalam beberapa tahap sesuai dengan kemampuan keuangan
Negara[14].
Manajemen Sekolah
Dalam dunia pendidikan di
Indonesia, yaitu kaitannya dengan manajemen pendidikan, dapat dikategorikan
dalam dua kelompok yaitu yang diatur dan dibawah kendali langsung pemerintah
(sekolah negeri) dan sekolah-sekolah yang di kelola oleh pihak swasta (sekolah
swasta). Di antara keduanya terdapat perbedaan manajemen yang mencolok.
Tidak dapat dipungkiri, perbedaan
manajemen ini pada akhirnya, sedikit banyak membawa ekses bagi mutu dan
kualitas anak didik di masing-masih sekolah serta secara tidak langsung telah
ikut menciptakan “ketimpangan” dalam pengelolaan sekolah. Bagi para keluarga
yang secara ekonomi mapan, dengan mudahnya mereka akan memasukkan anak-anaknya
pada sekolah-seklah favorit yang biasanya memerlukan pengeluaran dana yang
tinggi. Tetapi pula sebaliknya, bagi
yang keluarga yang kurang mampu, biaya sekolah akan menjadi beban tersendiri
yang secara otomatis mereka akan memilih sekolah-sekolah dengan biaya murah.
Tentu saja sekolah dengan biaya yang murah mutu pendidikannya sering kurang
memuaskan.
Sarana Prasarana
Sarana dan prasarana sekolah,
merupakan salah satu kendala yang masih dihadapi oleh dunia pendidikan
indonesia. Kemampuan keuangan yang masih terbatas, telah menyebabkan kurang
terpenuhinya sarana infrastruktur bagi pendidikan yang baik. Kondisi sekolah
masih jauh dari memadai. Mulai dari jumlah gedung kurang, ada pula gedung yang
rusak, ruang kelas yang terbatas maupun kurang lengkapnya alat-alat
laboratorium yang sangat dibutuhkan dalam pencapaian proses belajar mengajar,
merupakan beberapa kendala nyata yang masih diadapi dunia pendidikan
Indonesia.
“Data Balitbang Depdiknas (2003)
menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898
siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut
sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami
kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat”[15].
Rendahnya tingkat relevansi
pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja.
Permasalahan lain yang terjadi dalam dunia pendidikan indonesia adalah
Rendahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja. Hal ini
dapat terproyeksi melalui kenyataan bahwa ada banyak para pekerja tidak bekerja
sesuai dengan pendidikan yang telah ditempuh. Realita yang lain dapat terlihat
dari jumlah angka pengangguran yang semakin meningkat di Indonesia, yang
kenyataanya tidak hanya dipengaruhi oleh terbatasnya lapangan kerja. Namun adanya perbedaan yang cukup besar
antara hasil pendidikan dan kebutuhan kerja.
Rendahnya mutu pendidikan.
Problematikan berikutnya adalah
rendahnya mutu pendidikan di Indoenesia. Hal yang menunjukkan rendahnya mutu
pendidikan di Indonesia dapat terlihat dari laporan International Education Achievement
(IEA). ”Menurut IEA, kemampuan membaca
untuk tingkat SD siswa Indonesia berada dalam urutan ke-38 dari 39 negara
peserta studi. Sementara kemampuan matematika siswa SLTP Indonesia berada dalam
urutan ke-39 dari 42 negara. Adapun kemampuan IPA, Indonesia masuk dalam urutan
ke-40 dari 42 negara Jika dibandingkan
dengan negara-negara di ASEAN, ternyata posisi Indonesia tetap berada pada
urutan paling bawah. Selanjutnya Peringkat indeks pengembangan manusia (Human
Development Index) masih sangat rendah. Menurut data tahun 2004, dari 117
negara yang disurvei Indonesia berada pada peringkat 111 dan pada tahun 2005
peringkat 110 dibawah Vietnam yang berada di peringkat 108. sebagai konsekuensi
logis dari indikator-indikator di atas adalah penguasaan terhadap IPTEK di mana
kita masih tertinggal dari negara-negara seperti Malaysia, Singapura, dan
Thailand”[16].
Rendahnya
Prestasi Siswa
Beberapa faktor
permasalahan di atas (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan
guru) membuat pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. “Sebagai
misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia
internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study
(TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara
dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal
prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia
dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat”[17].
Permasalahan
lain berkaitan dengan siswa adalah menurunnya aklak dan moral dari peserta
didik. Seiring perkembangan jaman dan pesatnya kemajuan tehnologi memicu
terjadinya degradasi moral anak-anak peserta didik.
BAB III
GURU PROFESIONAL
Kebutuhan akan tenaga pengajar yang professional merupakan
kebutuhan yang mendesak. Program peningkatan kualitas dan profesionalisme guru
sangatlah diperlukan, apa pun sebutannya. Dalam sejarah dicatatkan, usaha-usaha
Negara-negara maju dalam upayanya meningkatkan kompetensin guru, menarik untuk
diperhatikan. “Di Amerika Serikat, dimulai dengan munculnya reformasi
pendidikan yang diinisiasi oleh keberadaan laporan federal yang berjudul A
Nation at Risk pada 1983. Laporan ini lantas melahirkan laporan penting
berjudul A Nation Prepared: Teachers for 21st Century. Dalam laporan tersebut,
direkomendasikan adanya pembentukan National Board for Professional Teaching
Standards, dewan nasional standar pengajaran profesional di Amerika Serikat
pada 1987. Demikian juga di Jepang, UU Guru ada sejak 1974 dan UU Sertifikasi
pada 1949. Sementara di Cina, UU Guru hadir pada 1993 dan PP Kualifikasi Guru
pada 2001”[18].
Pengertian
Profesional
Istilah professional
berasal dari profession, yang mengandung arti sama dengan occupation atau
pekerjaan yang memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau
latihan khusus. Ada beberapa pengertian yang berkaitan dengan professionalisme
yaitu okupasi, profesi dan amatif. Terkadang membedakan antar para
professional, amatir dan delitan. Maka para professional adalah para ahli di
dalam bidangnya yang telah memperoleh pendidikan atau pelatihan yang khusus
untuk pekerjaan itu[19].
Untuk lebih mengerti lebih dalam mengenai profesi dan
professional penulis mengutip apa yang disampaikan oleh Ravik Karsidi. Beliau
mengatakan “Profesi diukur berdasarkan kepentingan dan tingkat kesulitan yang
dimiliki. Dalam
dunia
keprofesian kita mengenal berbagai terminologi kualifikasi profesi yaitu:
profesi, semi profesi, terampil, tidak terampil, dan quasi profesi”[20].
Lebih jauh, “Gilley dan Eggland (1989) mendefinisikan
profesi sebagai bidang usaha manusia berdasarkan pengetahuan, dimana
keahlian dan pengalaman pelakunya diperlukan oleh masyarakat. Definisi ini
meliputi aspek yaitu : a. Ilmu pengetahuan tertentu b. Aplikasi
kemampuan/kecakapan, dan c. Berkaitan dengan kepentingan umum”[21].Aspek-aspek
yang diungkapkan Gilley tersebut juga merupakan aspek-aspek standar pengukuran
profesi guru.
Sedangkan professional Radik menuliskan “proses
profesional adalah proses evolusi yang menggunakan pendekatan organisasi dan
sistemastis untuk mengembangkan profesi ke arah status professional
(peningkatanstatus). Secara teoritis menurut Gilley dan Eggland (1989)
pengertian professional dapat didekati dengan empat prespektif pendekatan yaitu
orientasi filosofis, perkembangan bertahap, orientasi karakteristik, dan
orientasi non-tradisonal[22].
Citra Guru
Profesional
Profesi sebagai guru adalah sebuah pekerjaan yang istimewa serta
terkandung sebuah tanggung jawab yang tidak ringan, untuk itu seorang guru
harus mampu melaksanakan pekerjaan dan kewajibannya secara profesional. “Seseorang
dianggap profesional apabila mampu mengerjakan tugasnya dengan selalu berpegang
teguh pada etika kerja, independent (bebas dari tekanan pihak luar), cepat
(produktif), tepat (efektif), efisien dan inovatif serta didasarkan pada
prinsip-prinsip pelayanan prima yang didasarkan pada unsur-unsur ilmu atau
teori yang sistematis, kewenangan profesional, pengakuan masyarakat dan kode
etik yang regulatif. Pengembangan wawasan dapat dilakukan melalui forum
pertemuan profesi, pelatihan ataupun upaya pengembangan dan belajar secara
mandiri”[23].
“Profesionalisme guru adalah
kemampuan guru untuk melakukan tugas pokoknya sebagai pendidik dan pengajar
meliputi kemampuan merencanakan, melakukan, dan melaksanakan evaluasi
pembelajaran”[24].
Sejalan
dengan hal di atas, seorang guru perlu untuk
terus mengembangkan profesionalismenya melalui berbagai kegiatan yang
dapat mengembangkan kemampuannya dalam mengelola pembelajaran maupun kemampuan
lain dalam upaya menjadikan peserta didik memiliki keterampilan belajar.
Usaha-usaha tersebut meliputi atau mencakup “keterampilan dalam memperoleh
pengetahuan (learning to know), keterampilan dalam pengembangan jati
diri (learning to be), keterampilan dalam pelaksanaan tugas-tugas
tertentu (learning to do), dan keterampilan untuk dapat hidup
berdampingan dengan sesama secara harmonis (learning to live together)”[25].
Ada banyak
aspek yang harus seorang guru penuhi guna mejadi pengajar atau guru
profesional. Berikut ini penulis memaparkan kriteria atau citra guru yang
profesional. Di antaranya adalah:
Pengajar dengan Kompetensi yang baik.
di Indonesia telah ditetapkan sepuluh kompetensi yang harus
dimiliki oleh guru sebagai instructional leader, yaitu[26]:
(1) memiliki
kepribadian ideal sebagai guru;
(2)
penguasaan landasan pendidikan;
(3)menguasai
bahan pengajaran;
(4)kemampuan
menyusun program pengajaran;
(6) kemampuan
menilai hasil dan proses belajar mengajar;
(7)kemampuan
menyelenggarakan program bimbingan;
(8) kemampuan
menyelenggarakan administrasi sekolah;
(9) kemampuan
bekerja sama dengan teman sejawat dan masyarakat; dan
(10)
kemampuan menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran.
Penulis berpendapat bahwa
sebagai guru profesional seorang guru perlu mempunyai kompetensi yang baik,
yang dapat menunjang ia dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaannya sebagai
pengajar. Kompetensi-kompetensi penting tersebut penulis klasifikasikan menjadi
tiga, ketiganya adalah:
Pertama, kompotensi profesional, yaitu kompetensi pada bidang
substansi atau bidang studi, kompetensi bidang pembelajaran, metode
pembelajaran, sistem penilaian, pendidikan nilai dan bimbingan. Hal-hal yang
koheren dengan ini secara lebih detail antara lain: “konsep, struktur, dan
metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; materi
ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; hubungan konsep antar mata pelajaran
terkait; penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan
kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan
nilai dan budaya nasional”[27].
Kedua, kompetensi sosial, yaitu kompetensi pada bidang hubungan
dan pelayanan, pengabdian masyarakat, yaitu kemapuan pendidik sebagai bagian
dari masyarakat. Praktek secara lebih rinci dari hal ini antara lain:
”berkomunikasi lisan dan tulisan;
menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesame pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar”[28].
menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesame pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar”[28].
Ketiga, kompetensi personal, yaitu kompetensi nilai yang
dibangun melalui perilaku yang dilakukan guru, memiliki karakter yang unggul,
kepribadi dan penampilan yang menarik, mengesankan sehingga menjadi dambaan
setiap orang, sosok guru yang menjadi tauladan bagi siswa dan panutan
masyarakat. Selain itu juga mempunyai
sikap dan kepribadian yang konstruktif, di antaranya: “mantap; stabil;
dewasa;
arif dan bijaksana; berwibawa; berakhlak mulia; menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; mengevaluasi kinerja sendiri; dan lainnya”[29].
arif dan bijaksana; berwibawa; berakhlak mulia; menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; mengevaluasi kinerja sendiri; dan lainnya”[29].
Pendapat mengenai pentingnya kompetensi personal ini juga
penulis dapatkan dalam salah satu artikel di internet yang menuturkan bahwa “Profesi guru sangat
identik dengan peran mendidik seperti membimbing, membina, mengasuh ataupun
mengajar. Ibarat sebuah contoh lukisan yang akan ditiru oleh anak didiknya.
Baik buruk hasil lukisan tersebut tergantung dari contonya. Guru (digugu dan
ditiru) otomatis menjadi teladan. Melihat peran tersebut, sudah menjadi
kemutlakan bahwa guru harus memiliki integritas dan personaliti yang baik dan
benar. Hal ini sangat mendasar, karena tugas guru bukan hanya mengajar (transfer
knowledge) tetapi juga menanamkan nilai - nilai dasar dari bangun
karakter atau akhlak anak”[30].
Mengembangkan diri sesuai tuntutan
Guru profesional adalah guru yang lulus sesuai dengan persyaratan
yang ditetapkan oleh pemerintah. Guna memenuhi persyaratan tersebut setiap guru
wajib melakukan berbagai kegiatan dalam melaksanakan tugas dan
tanggung-jawabnya. Lingkup kegiatan guru tersebut meliputi :
(1) mengikuti pendidikan, atau mempunyai
pendidikan yang sesuai. Mengembangkan diri dalam tingkat pendidikan sehingga mempunyai
tingkat pendidikan yang sesuai dengan syarat yang telah ditetapkan.
(2) menangani proses pembelajaran, melaksanakan
tugas yang mencakup seluruh proses pembelajaran sesuai dengan prosedur yang
ditetapkan.
(3) melakukan kegiatan pengembangan
profesi. Hal ini dapat ditempuh dengan mengikuti berbagai lokakarya, seminar
dan juga pelatihan-pelatihan.
(4) melakukan kegiatan penunjang. Salah
satu contoh kegiatan penunjang adalah melakukan riset dan menulis karya ilmiah.
Tantangan
Profesionalisme Guru
Pertama: Perkembangan Tehnologi Informasi
Perkembangan teknologi informasi merupakan
sebuah tantangan baru. Adanya perkembangan teknologi informasi yang demikian
akan mengubah pola hubungan guru-murid, teknologi instruksional dan sistem
pendidikan secara keseluruhan.
Dengan kemudahan-kemudahan yang di dapat
peserta didik untuk mendapatkan informasi, hal ini dapat mengakibatkan
pergeseran sumber informasi yang tadinya berasal dari guru dan sekolah beralih
kepada dunia maya.
Perkembangan
teknologi (terutama teknologi informasi) menyebabkan peranan
Sekolah sebagai lembaga pendidikan akan
mulai bergeser dan boleh dikatakan berkurang fungsinya. Salah satu alasannya,
karena sekolah tidak lagi akan menjadi satu-satunya pusat pembelajaran karena
aktivitas belajar tidak lagi terbatasi oleh ruang danwaktu. Peran guru juga
tidak akan menjadi satu-satunya sumber belajar karena banyaksumber belajar dan
sumber informasi yang mampu memfasilitasi seseorang untuk belajar.
Inilah tantangan
guru dalam mengembangkan profesionalismenya. Apakah perannya akan digantikan
oleh teknologi informasi, atau guru yang memanfaatkan teknologi informasi untuk
menunjang peran profesinya.
Kedua: Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan
Awal mula pergeseran paradigma pembangunan
yang dominan ke paradigma
desentralistik
mulai sejak munculnya UU No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah yang menandai
perlunya desentralisasi dalam banyak urusan yang semula dikelola secara
sentralistik.
Perlu dimengerti desentralisasi
adalah penyerahan sebagian otoritas pemerintah pusat ke daerah, untuk
mendistribusikan beban pemerintah pusat ke daerah sehingga daerah dan
masyarakatnya ikut menanggung beban tersebut. Hal ini menyangkut juga masalah
pendidikan.
“Dalam desentralisasi pendidikan,
pemerintah pusat lebih berperan dalam menghasilkan kebijaksanaan mendasar
(menetapkan standar mutu pendidikan secara nasional), sementara kebijaksanaan
operasional yang menyangkut variasi keadaan daerah didelegasikan kepada pejabat
daerah bahkan sekolah”[31].
Yang menjadi permasalahan di sini
adalah berkaitan dengan pendanaan, bahwa tidak semua daerah mempunyai pendanaan
yang mencukupi guna keberlangsungan proses pendidikan di daerahnya.
Langkah Solusi Menuju
Guru Profesional
Penulis berpendapat sedikitnya
ada dua cara atau langkah guna meminimalisir permasalahan pendidikan yang ada
di Indonesia.
Pertama, solusi sistemik,
“yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem
pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem
ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini,
diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme),
yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam
urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan”[32].
Kedua, solusi teknis, Jalan
yang dapat dilakukana secara teknis untuk meningkatkan Profesionalisme guru
antara lain:
Gaji yang memadai.
Pemerintah dalam hal ini sebagai
pemegang kewenangan tertinggi dalam dunia pendidikan di Indonesia perlu memikirkan
dan metata ulang sistem penggajian guru, agar guru dapat menerima penghasilan
yang sepadan dengan biaya hidupnya, mencukupi pembiayaan hidupnya, lebih dari
pada itu supaya dapat mengembangkan diri dan melengkapi diri dengan berbagai
hal uang menunjang profesinya.
Dengan penghasilan yang baik,
tidak perlu guru merepotkan diri mencari nafkah tambahan di luar jam
kerjanya. Guru akan lebih berkonsentrasi pada profesinya, tanpa harus
mengkhawatirkan kehidupan rumah tangganya serta mengkawatirakan masa depan
putra-putrinya.
Pada sisi yang lain, guru akan mempunyai
waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri tampil prima di depan kelas, juga
mempersiapkan materi dengan baik. Keefektifan dan efisiensi yang ada, tidak
menutup kemungkinan akan membuat guru-guru dapat menghasilkan karya-karya yang
dapat menolong profesinya, misalnya berupa buku-buku pembelajaran, buku
tersebut juga dapat menolong rekan-rekan yang lain yang membutuhkan.
Pada akhirnya hal tersebut dapat
lebih menyejahterakan kehidupan guru dan akan lebih meningkatkan status sosial
guru. Guru akan lebih dihormati dan dikagumi oleh anak didiknya, secara pribadi
guru juga akan lebih semangat dalam menekuni profesinya. Jika anak didik mengagumi gurunya maka motivasi
belajar siswa akan meningkat dan pendidikan pasti akan lebih bermutu
kualitasnya.
Kurangi beban guru dari
tugas-tugas administrasi yang sangat menyita waktu.
Sebaiknya tugas-tugas administrasi yang selama ini harus dikerjakan seorang
guru, dibuat oleh suatu tim di Diknas atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran
(MGMP) yang disesuaikan dengan kondisi daerah dan bersifat fleksibel (bukan
harga mati) lalu disosialisasikan kepada guru melalui sekolah-sekolah. Hal ini
dapat dijadikan sebagai pegangan guru mengajar dalam mengajar dan membantu
guru-guru pemula untuk mengajar tanpa membebani tugas-tugas rutin guru[33].
Pelatihan dan sarana.
Salah satu usaha untuk meningkatkan profesionalitas guru adalah pendalaman
materi pelajaran melalui pelatihan-pelatihan. Yaitu dengan memberi kesempatan
guru untuk mengikuti pelatihan-pelatihan dengan biaya yang ringan atau
melengkapi sarana dan kesempatan agar guru dapat banyak membaca buku-buku
materi pelajaran yang dibutuhkan guru untuk memperdalam pengetahuannya[34].
KESIMPULAN
Mempertimbangan dan memperhatikan peran guru
dan tugas guru sebagai salah satu faktor determinan bagi keberhasilan
pendidikan, maka keberadaan dan peningkatan profesi guru merupakan persoalan
yang sangat penting dan mendesak.
Profesionalisme guru menjadi salah satu kunci
guna menumbuhkan mutu pendidikan di Indonesia. Mengingat profesionalisme guru
merupakan proses panjang karena tidak dengan singkat dapat terlaksana,
hendaknya memacu para guru untuk mempersiapkan diri dan memperlengkapi diri
dengan sebaik-baiknya.
Dalam upaya peningkatan, di sinilah
dibutuhkan koordinasi antar lembaga yang bersangkutan untuk bergandeng tangan,
bergotong royong menopang proses pendidikan yang ada. Permasalah-permasalah
dalam dunia pendidikan merupakan tanggung jawab semua elemen bangsa. Bukan
waktunya untuk hanya mencari sumber permasalah, melainkan inilah waktu yang
tepat untuk mencari solusi guna terciptanya keadaan proses pendidikan yang
lebih baik di Indonesia.
Dengan dimunculkannya Undang-Undang tentang
Guru dan Dosen mengindikasikan geliat positif dalam ranah pendidikan di
Indonesia. Berkaitan dengan ini dibutuhkan kesiapan dari pihak guru-guru untuk
meningkatkan diri guna dapat menjadi tenaga pengajar yang kompeten sesuai
dengan aturan yang telah ditetapkan.
Guru-guru PAK perlu menyadari bahwa panggilan
pekerjaan ini merupakan pekerjaan yang sangat mulia, mengingat profesi ini
mempunyai peranan yang sangat vital bagi kemajuan, perkembangan, pertumbuhan
serta peningkatan mutu, kualitas serta karakter peserta didik yang ada.
Daftar Pustaka
Aang Kusmawan.
Dalam artikel
“Profesionalisme Guru di Tahun 2009” Internet http://www.ahmadheryawan.com/opini-media/pendidikan/1233-profesionalisme-guru-di-tahun-2009.html
Hakam Naja.
Bachtiar.
Dalam artikel “Menjadi
Guru Profesional Bukan Sekedar Lulus Uji Sertifikasi”.
Internet:menjadi+guru+profesional+bukan+sekedar+lulus+uji+setifikasi&fp=3c535af0b522fb05
diakses pada tanggal 19 Februari 2010
E. Mulyasa.
Dalam artikel “Menjadi
Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan”. Internet:
www.pdat.co.id/hg/newbooks_pdat/2005/03/28/nwb,20050328-02,id.html diakses tanggal 19 February 2010
MarkusBasuki.
Dalam artikel menjadi
guru profesional bukan sekedar lulus uji sertifikasi.
Internet:menjadi+guru+profesional+bukan+sekedar+lulus+uji+setifikasi&fp=3c535af0b522fb05.
diakses pada tanggal 19 Februari 2010
Oktovianus Suhalata.
Ravik
Karsisi
Dalam
makalah “PROFESIONALISME GURU DAN
PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH Bersumber dari
Internet: http://www.uns.ac.id/data/0023.pdf
diakses tanggal 23 February 2010
Sulipan.
Dalam makalah “Kegiatan Pengembangan Profesi
Guru”. Internet. http://www.lpmpjogja.diknas.go.id/materi/fsp/2009-PAK/KEGIATAN%20PENGEMBANGAN%20PROFESI%20GURU%20%28sulipan%29.pdf
Suryadi.
Dalam artikel “Guru
profesional antara angan dan asa”. Internet. http://206.53.239.180/post/ppi/ppiindia-Guru-Profesional-Antara-Angan-Dan-Asa. diakses tanggal 19 February 2010
Artikel:
“profesionalisme Guru” internet: www.alfurqon.or.id/component/content/article/64-guru/343-profesionalisme-guru. diakses tanggal 23 Februari 2010
Makalah : Profesionalisme Guru. Terambil di Internet: http://www.infoskripsi.com/Article/Profesionalisme-Guru.html
diakses tanggal 23 Februari 2010
Artikel. “Menjadi Guru Profesional” http://desireminsa.multiply.com/journal/item/3, diakses tanggal 19 February 2010
internet: www.
Unhas.ac.id diakses pada tanggal 23 Februari 2010
Internet: http://www.untukku.com/artikel-untukku/dari-guru-konvensional-menjadi-guru-profesional-untukku.html diakses pada tanggal 19 February 2010
Internet: http://lautanaksara.wordpress.com/2009/01/12/masalah-dalam-pendidikan-kita/ di akses tanggal 23 February 2010
Internet: http://lautanaksara.wordpress.com/2009/01/12/masalah-dalam-pendidikan-kita/ di akses tanggal 23 February 2010
[1]MarkusBasuki.Internet:menjadi+guru+profesional+bukan+sekedar+lulus+uji+setifikasi&fp=3c535af0b522fb05.
diakses pada tanggal 19 Februari 2010
[2] internet:
www. Unhas.ac.id diakses pada tanggal 23 Februari 2010
[3]
Internet: http://www.untukku.com/artikel-untukku/dari-guru-konvensional-menjadi-guru-profesional-untukku.html
diakses pada tanggal 19 February 2010
[4]
Oktovianus Suhalata. Internet: http://re-searchengines.com/oktovianus0908.html
diakses pada tanggal 19 February 2010
[5] E.
Mulyasa. Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan
Menyenangkan. Internet: www.pdat.co.id/hg/newbooks_pdat/2005/03/28/nwb,20050328-02,id.html
diakses tanggal 19 February 2010
[6]Bachtiar.dalam
artikel “Menjadi Guru Profesional Bukan Sekedar Lulus Uji Sertifikasi”.
Internet:menjadi+guru+profesional+bukan+sekedar+lulus+uji+setifikasi&fp=3c535af0b522fb05
diakses pada tanggal 19 Februari 2010
[7]Suryadi. Internet. http://206.53.239.180/post/ppi/ppiindia-Guru-Profesional-Antara-Angan-Dan-Asa.
diakses tanggal 19 February 2010
[8] A. Hakam Naja. Internet: http://www.e-dukasi.net/artikel/index.php?id=18 diakses pada tanggal 23 Februari
2010
[9]Bachtiar.dalam
artikel “Menjadi Guru Profesional Bukan Sekedar Lulus Uji Sertifikasi”.
Internet:menjadi+guru+profesional+bukan+sekedar+lulus+uji+setifikasi&fp=3c535af0b522fb05
diakses pada tanggal 19 Februari 2010
[10] A. Hakam Naja. Internet: http://www.e-dukasi.net/artikel/index.php?id=18 diakses pada
tanggal 23 Februari 2010
[11] Aang Kusmawan. Dalam artikel “Profesionalisme Guru di Tahun 2009”
Internet http://www.ahmadheryawan.com/opini-media/pendidikan/1233-profesionalisme-guru-di-tahun-2009.html
[12]
Bachtiar.dalam artikel “Menjadi Guru Profesional Bukan Sekedar Lulus Uji
Sertifikasi”. Internet:menjadi+guru+profesional+bukan+sekedar+lulus+uji+setifikasi&fp=3c535af0b522fb05
diakses pada tanggal 19 Februari 2010
[13] Ibid
[14] Ibid
[15]
Internet: http://lautanaksara.wordpress.com/2009/01/12/masalah-dalam-pendidikan-kita/
di akses tanggal 23 February 2010
[16]Bachtiar.dalam
artikel “Menjadi Guru Profesional Bukan Sekedar Lulus Uji Sertifikasi”.
Internet:menjadi+guru+profesional+bukan+sekedar+lulus+uji+setifikasi&fp=3c535af0b522fb05
diakses pada tanggal 19 Februari 2010
[17]
Internet: http://lautanaksara.wordpress.com/2009/01/12/masalah-dalam-pendidikan-kita/
di akses tanggal 23 February 2010
[18]
Suryadi. Op,cit
[20] Ravik Karsisi dalam makalah “PROFESIONALISME GURU DAN
PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH Bersumber dari Internet: http://www.uns.ac.id/data/0023.pdf diakses tanggal 23 February 2010
[21] Ibid
[22] ibid
[23] Sulipan.
Dalam makalah “Kegiatan Pengembangan Profesi Guru”. Internet. http://www.lpmpjogja.diknas.go.id/materi/fsp/2009-PAK/KEGIATAN%20PENGEMBANGAN%20PROFESI%20GURU%20%28sulipan%29.pdf
[24]
artikel: “profesionalisme Guru” internet: www.alfurqon.or.id/component/content/article/64-guru/343-profesionalisme-guru.
diakses tanggal 23 Februari 2010
[25] Ibid
[26] Makalah : Profesionalisme Guru.
Terambil di Internet: http://www.infoskripsi.com/Article/Profesionalisme-Guru.html diakses tanggal 23 Februari
2010
[27] artikel:
“profesionalisme Guru” internet: www.alfurqon.or.id/component/content/article/64-guru/343-profesionalisme-guru.
diakses tanggal 23 Februari 2010
[28] Ibid
[29] Ibid
[30] Internet
dalam artikel. Menjadi Guru
Profesional http://desireminsa.multiply.com/journal/item/3,
diakses tanggal 19 February 2010
[31] Ravik
Karsisi dalam makalah “PROFESIONALISME
GURU DAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH Bersumber
dari Internet: http://www.uns.ac.id/data/0023.pdf
[32] Internet: http://zaifbio.wordpress.com/2010/01/14/ciri-ciri-dan-masalah-pendidikan-di-indonesia/
[33]
Bachtiar.dalam artikel “Menjadi Guru Profesional Bukan Sekedar Lulus Uji
Sertifikasi”. Internet:menjadi+guru+profesional+bukan+sekedar+lulus+uji+setifikasi&fp=3c535af0b522fb05
diakses pada tanggal 19 Februari 2010
[34] Ibid